Eskatologi Islam, Ibadah Dan Relevansinya Dengan Etos Kerja, Oleh: Rahmat Yudistiawan

  • PENDAHULUAN

Hampir semua agama termasuk Islam meyakini adanya konsep awal mula segala sesuatu, hari akhir, serta hari kebangkitan kembali, yang mana di dalam filsafat hal ini dikenal dengan istilah eskatologi, yaitu ilmu pengetahuan yang membahas tentang akhirat. Menurut Eliade, “… eskatologi termasuk bagian dari agama dan filsafat yang menguraikan secara runtut semua persoalan dan pengetahuan tentang akhir zaman, seperti kematian, alam kubur, kehidupan surga dan neraka, hukuman bagi yang berdosa, pahala bagi yang berbuat baik, hari kebangkitan, pengadilan pada hari itu dan sebagainya.[1] Dalam Islam konsep ini bahkan terungkapkan dalam rukun iman yang yang kelima, yaitu Iman (percaya) kepada hari akhir, artinya konsep ini harus diyakini oleh setiap umat Muslim.

Selain itu, dalam ajaran Islam juga diterangkan mengenai tujuan dari penciptaan manusia, yaitu untuk beribadah kepada Allah. Maka dapat dipahami bahwa ibadah adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap Muslim tanpa mengharapkan imbalan apapun, ibadah merupakan wujud penghambaan manusia kepada Allah sebagai realitas yang sebenarnya. Namun tujuan dari ibadah ini seringkali mengalami pergeseran ketika manusia juga dihadapkan dengan konsep pengadilan di hari kebangkitan. Bahwasanya setiap orang yang melakukan perbuatan baik di dunia akan mendapatkan balasan yang baik, sedangkan orang yang berbuat buruk akan mendapatkan hukuman. Banyak dari pemeluk agama melakukan ibadah dengan tujuan agar terlepas dari hukuman di akhirat nantinya, tujuan beribadah bukan lagi semata-mata sebagai wujud penghambaan diri kepada Sang Khaliq.

Ibadah dengan motif seperti ini juga tidak sepenuhnya salah, karena dari awal memang sudah digambarkan adanya konsep reward dan punishment terkait dengan kehidupan manusia. Kemudian fenomena lain yang berkembang adalah banyaknya umat Muslim yang mengabaikan urusan duniawi, mereka bepandangan bahwa masa depan mereka adalah akhirat, mereka hanya beribadah untuk mencapai kesuksesan akhirat. Pemahaman seperti ini tentunya terjadi karena ketakutan dalam memandang eskatologi. Dan Jika hanya mengedepankan aspek spiritual tetapi melupakan lainnya, maka akan berakibat terjadinya kesenjangan antara ajaran Islam yang sedemikian tinggi dengan kenyataan kehidupan sehari-hari, yakni rendahnya kualitas kerja di lingkungan Muslimin.[2]

Selain itu, buruknya etos kerja dalam mencapai kesuksesan dunia di kalangan Muslim ini juga dilatarbelakangi karena kurangnya pemahaman umat Muslim itu sendiri tentang makna ibadah. Ibadah sebagai upaya untuk meraih kesuksesan akhirat seringkali dipahami dengan makna yang sempit, hanya sebatas praktik-praktik ritual seperti shalat, puasa, zakat, dan haji saja. Kedangkalan pemahaman ini membuat orang-orang Muslim hanya berfokus pada praktik ibadah formal saja. Padahal sebenarnya ibadah dapat diartikan dalam makna yang sangat luas. Dengan keluasan pemahaman dalam memaknai ibadah tentunya akan meningkatkan aktivitas setiap individu dalam upayanya mencapai kesuksesan akhirat.

  • RUMUSAN MASALAH
  1. Bagaimana pandangan Islam tentang eskatologi dan kehidupan di dunia?
  2. Seperti apa makna dan konsep ibadah dalam Islam?
  • PEMBAHASAN

Emile Durkheim mendefinisi agama sebagai suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci dan menyatukan semua penganutnya dalam suatu komunitas moral yang dinamakan umat.[3] Islam sebagai sebuah agama tentunya juga memiliki kepercayaan dan praktik-praktik tersendiri yang menghubungkan antara makhluk dengan khaliq-Nya.

Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu seperti berdoa, memuja dan lainnya, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah, dan lainnya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya. Karenanya, keinginan, petunjuk, dan ketentuan kekuatan gaib harus dipatuhi kalau manusia dan masyarakat ingin kehidupan ini berjalan dengan baik dan selamat.[4]

Dalam Islam kekuatan ghaib yang paling besar tersebut adalah Allah, Tuhan sekalian alam. Sedangkan perilaku beragama dalam Islam memang sudah diatur dalam kitab suci Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. dan hingga sekarang Al-Quran menjadi pedoman hidup bagi setiap Muslim. Disinilah perbedaan mendasar antara agama dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan terbatas hanya memahami hal-hal yang bersifat rasional-empiris yang dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia, dan dapat dicerap oleh indera. Sedangkan agama, sangat erat kaitannya dengan hal-hal metafisika atau supernatural, yaitu tatanan hal-ihwal yang berada di luar kemampuan pemahaman kita; yang supernatural adalah dunia misteri, yang tidak bisa diketahui atau yang tidak bisa ditangkap akal dan dicerap indera. Maka agama menjadi semacam spekulasi terhadap segala sesuatu yang ada di luar sains atau akal sehat pada umumnya.[5] Contoh salah satu konsep yang diyakini oleh Islam adalah eskatologi, yaitu adanya hari kiamat, hari kebangkitan kembali, surga dan neraka sebagai ganjaran dari perbuatan manusia di dunia.

Artinya: “Hari Kiamat. Apakah Hari Kiamat itu? Tahukah kamu, apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia adalah seperti anai anai yang bertebaran.” (QS. Al-Qari’ah ayat 1-4).

Ayat di atas menjelaskan tentang Hari Akhir, atau dalam Islam dikenal dengan sebutan hari kiamat.  Hari Akhir merupakan terjemahan dari bahasa Arab yaituYaumul akhir.  Kata yaum berarti hari dan kata akhir berarti yang terakhir atau yang penghabisan. Dalam Al Qur’an, kata kata Akhirah disebut 71 kali yang tersebar dalam berbagai surat, dan sering beriringan dengan kata ad-Dunya (kehidupan saat ini) sebagai lawan dari al-Akhirat. Dua kata tersebut mempunyai substansi yang berbeda. Kehidupan dunia adalah proses yang bersifat sementara, sedangkan akhirat adalah kehidupan yang abadi dan sebagai imbalan kehidupan dunia, maka segala amal perbuatan manusia di dunia akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Hal lain yang diyakini Islam adalah adanya hari kebangkitan kembali sebagai hari pengadilan atas apa yang telah diperbuat manusia. Orang yang banyak melakukan kebaikan ditempatkan di Surga, sedangkan mereka yang banyak berbuat kejahatan akan di tempatkan di neraka.

Artinya: “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minun: 115).

Artinya: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. Al-Qiyamah: 36).

Artinya “Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang shaleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezqi di dalamnya tanpa hisab. (QS. Al-Mukmin : 40)

Ketiga ayat di atas menjelaskan tentang kembalinya manusia kepada Allah sebegai Sang Pencipta, Pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatan yang telah dilakukannya, kemudian setiap perbuatan tersebut akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Begitulah konsep-konsep eskatologi yang diajarkan oleh Islam, dan konsep-konsep tersebut merupakan sebuah ajaran yang memang harus diyakini oleh setiap Muslim. Akan tetapi dengan adanya konsep eskatalogi dalam Islam bukan berarti Islam hanya menyeru pemeluknya untuk mencapai akhirat saja, Islam tidak pernah menafikan keberadaan dunia sebagai sebuah perantara untuk mencapai kehidupan akhirat. Bahkan dunia bisa dijadikan alat untuk mencapai kesuksesan di akhirat. Islam mengantarakan pemeluknya untuk mencapai dunia dan akhirat secara seimbang.

Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam menekankan perlunya manusia beramal dan bekerja. Al-Quran menganjurkan manusia untuk beramal, berbuat secara kongkrit untuk kemanfaatan dan kesejahteraan hidup bersama. Dapat diartikan bahwa Al-Quran juga mengharuskan umat Islam untuk berusaha meraih kesejahteraan hidup di dunia. Secara tegas Al-Quran memandang kekayaan (dalam segala bentuknya, baik yang material maupun spiritual) pada dasarnya merupakan keutamaan dan mempunyai makna lebih dibandingkan dengan kemiskinan.[6]

Sebagai agama yang bertujuan mengantarkan hidup manusia kepada kesejahteraan dunia dan akhirat, lahir dan bathin, Islam telah membentangkan dan merentangkan pola hidup yang ideal dan praktis, … setiap muslim menghadapi dua medan (aspek) untuk memprodusir kebaikan atau amal shaleh sebanyak-banyaknya, yang meliputi aspek ibadah dan mua’malah (budaya, sosial, kemasyarakatan, ekonomi, dan lain-lain) yang lazim juga diformulasikan sebagai hablun minallah dan hablun minannaas.[7] Ibadah dalam bentuk formal merupakan hubungan antara manusia dan Tuhan, sedangkan mua’malah juga bisa diartikan sebagai ibadah, penghambaan diri kepad Allah, tetapi dengan bentuk hubungan dengan manusia, artinya kita mengabdikan hidup kita untuk menjalankan perintah Allah yang bersangkutan dengan sesama makhluk.

Artinya: “Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10).

Dalam ayat lainnya Al-Quran dengan tegas menyeru manusia untuk memperoleh kesuksesan di dunia dan akhirat secara bersamaan.

Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash ayat 77)

Berdasarkan paparan di atas dapat dipahami bahwa, walaupun Islam memiliki konsep eskatologi yakni konsep hari akhir, hari kebangkitan, surga dan neraka sebagai balasan dari perbuatan manusia, namun bukan berarti Islam hanya menyuruh kaum muslim untuk berfokus kepada ibadah formal saja sebagai jalan mencapai kesuksesan di akhirat. Islam juga memperhatikan aspek keduniawian, sesuai dengan perannya sebagai khalifah di muka bumi, manusia berhak mengolah apa saja yang ada di bumi, mencari rizki, mencapai keinginan dan kesuksesan di dunia.

Adanya hari kiamat sebagai hari akhir bukan berarti meruntuhkan harapan manusia untuk meraih cita-citanya. Konsep tersebut adalah untuk menyeimbangkan antara aspek jasmani dan rohani manusia, tanpa adanya konsep eskatologi tentunya manusia akan berbuat semena-mena di muka bumi. Begitupun sebaliknya, jika Islam menafikan kehidupan duniawi maka mengabaikan dunia. Maka Islam berusaha menyeimbangkan antara keduanya. Adanya pemahaman yang baik tentang kedua aspek ini tentunya akan menjadikan orang-orang muslim sebagai seorang yang religius dan memiliki etos kerja yang tinggi.

  • MAKNA DAN KONSEP IBADAH DALAM ISLAM

Fenomena Religius dapat dibagi menjadi dua kategori: Kepercayaan dan ritus. Yang pertama merupakan pendapat-pendapat (states of opinion) dan terdiri dari representasi-representasi; yang kedua adalah bentuk-bentuk tindakan (action) yang khusus. Di antara dua kategori fenomena ini terdapat jurang yang memisahkan cara berpikir (thinking) dari cara berperilaku (doing).[8] Artinya kepercayaan berupa hal-hal yang diyakini oleh setiap penganut agamanya, sedangkan ritual adalah aktivitas khusus. Adapun dalam Islam ritual-ritual tersebut biasanya disebut dengan ibadah, ibadah seringkali dipahami sebagai ritual-ritual formal keagamaan, namun sebenarnya pemaknaan atas Ibadah bisa diperluas, bukan hanya mencakup ritual yang sebagai perantara makhluk dan khaliq saja, akan tetapi ibadah bisa juga dimaknai menjadi semua aktivitas baik yang dilakukan oleh manusia, dengan niat untuk mencari ridha Allah.

  1. Definisi Ibadah

Ketika membandingkan pemahaman generasi-generasi Islam pertama mengenai pengertian ibadah yang lengkap, luas dan dalam, dengan pemahaman generasi-generasi sekarang yang dangkal dan sempit, seseorang tak merasa aneh. Umat ini telah terhempas dari puncak ketinggiannya ke dalam jurang yang hina sebagaimana yang ada sekarang ini.[9] Dari paragraf di atas data dipahami bahwa pengertian ibadah pada masa sekarang ini sudah sangat jauh dari pemahaman ibadah oleh generasi awal Islam. Pemahaman generasi awal Islam ialah bahwa ibadah kepada Allah adalah tujuan hidup seluruh umat manusia. Firman Allah telah menjelaskan:

Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56).

Ibadah dalam kamus disebut: Al-Ubdiyah, dan Al-‘Ibadah, semua itu mempunyai arti Ath-Tha’ah, kepatuhan atau keta’atan. Dari segi bahasa yang tepat adalah Al-‘Ubudiyah berasal dari Al-Khudlu’ (tunduk atau rendah diri) serta Adz-Dzil (memperhinakan diri). Kemudian At-Ta’bid (penyembahan) adalah bermakna At-Tadzlil (perendahan diri atau penghinaan diri).[10] Diantara beberapa definisi tersebut antara lain:

  1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, perintah dan larangan tersebut diberitahukan kepada manusia melalu wahyu yang disampaikan kepada para rasul.
  2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah, yaitu ketundukan disertai dengan rasa kecintaan.
  3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan atau perbuatan.

Menurut Imam Syatibi tujuan yang mendasar (pokok) di dalam ibadah adalah tawajjuh (menghadap) kepada Yang Mahaesa, Tuhan yang disembah, dan mengesakan-Nya dengan niat ibadah dalam setiap keadaan.

  1. Konsep Ibadah Islam

Ibadah secara luas bisa diartikan sebagai amal shaleh (perbuatan baik). Berdasarkan kajian yang ada, terdapat dua bentuk amal yang selalu menjadi perilaku orang-orang mulia, yaitu :

  1. Amal yang berhubungan dengan ibadah formal (ibadah mahdah), yakni perbuatan yang seluruh prasyarat, syarat, dan aturannya secara detail dicontohkan rasulullah, yang tidak boleh ditambah atau dikurangi sedikitpun (demikian pendapat semua ulama fiqh), yang apabila terjadi maka disebut sebagai bid’ah yang tertolak oleh Allah swt. Bid’ah yang menyangkut amalan formal dikategorikan sebagai rekayasa amal yang menyesatkan dan pembuat serta pengamalnya mendapatkan dosa. Contoh amal perbuatan dalam kelompok ini sangat mudah diidentifikasi karena berada dalam bentuk amal peribadatan mahdah, antara lain: shalat, puasa, dan haji. Dengan demikian, setiap perbuatan shalat, puasa, dan haji yang dilakukan seseorang yang telah memenuhi prasyarat, syarat, dan rukunnya dapat disebut perbuatan terpuji (amal shaleh).
  2. Amal yang berhubungan dengan peribadatan tidak formal (ghairi mahdah), yakni perbuatan yang tidak secara detail dicontohkan oleh Nabi Muhammab saw, namun dalil-dalil utamanya tercantum dalam Al-Quran, sehingga dalam pelaksanaanya menjadi fleksibel. Dari kajian Al-Quran, dalil-dalil yang berhubungan dengan permasalahan kelompok kedua ini lebih banyak dibandingkan kelompok pertama, sehingga menjadi peluang bagi umat Islam untuk mengembangkan dirinya menjadi manusia yang multi dimensi dalam melakukan amal perbuatan. Bentuk amal kategori kedua ini seharusnya menjadi pencerminan yang nyata dari bentuk amal kategori pertama, karena bentuknya menyangkut nilai sesungguhnya misi Islam diturunkan, yakni memuliakan di hadapan Tuhan dan di antara sesama.[11]

Konsep ibadah di atas dipaparkan untuk membuka pemahaman kaum Muslim mengenai pemaknaan atas ibadah. Ibadah yang seringkali hanya dimaknai sebagai ritual formal agama ternyata memiliki makna yang luas yang juga mencakup tentang hubungan manusia dengan makhluk lainnya di dunia. Namun tentunya bukan setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia bisa dimaknai sebagai ibadah, akan tetapi juga tidak menutup kemungkinan semua aktivitas manusia tersebut dimaknai sebagai ibadah, selama ia memiliki unsur-unsur dari ibadah. Maka selayaknya dipahami hakikat dan unsur dari ibadah, dengan dalamnya pemahaman tersebut tentu akan menunjang serta memperbanyak aktivitas ibadah yang dilakukan.

Dalam buku-buku fiqh Islam disebutkan bahwa suatu perbuatan dapat disebut ibadah atau peribadatan apabila di dalamnya terdapat beberapa hal, yakni:

  1. Niat, yakni keinginan hati untuk melakukan perbuatan tertentu karena adanya stimulus ilahiyah dan kemanusiaan semata. Karena sifatnya sangat tersembunyi, seseorang tidak mungkin mengetahui niat orang lain.
  2. Ilmu, yakni pengetahuan yang menjadi sandaran atau rujukan yang bersangkutan untuk dapat menyampaikan niat tersebut agar terwujud menjadi kenyataan.
  3. Perbuatan, yakni suatu aksi yang dituangkan dalam bentuk perilaku fisik, yang mudah dideteksi secara kasat mata, dan dilakukan secara sungguh-sungguh. Dalam hal perilaku atau amal perbuatan, kita harus berhati-hati karena disinilah terdapat batas yang jarang disadari oleh manusia pada umumnya, apakah yang dilakukan tersebut bernuansa amal shaleh atau bukan.
  4. Ikhlash, yakni bisikan hati yang menyertai niat, ilmu dan perbuatan dengan muatan berupa mencari ridha Allah semata.
  5. Tawakkal, yakni bentuk penyerahan (kepasrahan) keempat poin di atas terhadap penilaian Allah swt tanpa memperdulikan untung rugi secara materil semata. Orang yang tawakkal adalah orang yang berorientasi pada karya bukan hasil keuntungan, ia akan selalu mengoptimalkan potensi diri untuk berbuat amal shaleh sebanyak-banyaknya dan tidak pernah mengenal lelah bahkan kecewa apabila usahanya tidak mencapai harapan.[12]

Dengan keluasan pemahaman tentang ibadah, maka setiap orang tidak terbatas untuk melakukan ibadah dengan praktik-praktik formal saja, namun setiap orang bisa saja menjadikan semua aktivitasnya bernilai ibadah, dengan cara menunaikan unsur-unsur ibadah yang telah dipaparkan di atas tadu. Dengan adanya pemahaman yang baik seperti ini tentu saja dapat meningkatkan etos kerja kaum Muslimin, karena ibadah yang selama ini hanya dipahami dalam arti sempit dan orang-orang hanya berusaha mencapai akhirat dengan ibadah-ibadah fomal saja, kemudian dimaknai secara luas maka artinya ada banyak jalan untuk mencapai kesuksesan akhirat. Bahkan untuk mencapai kesuksesan tidak harus menafikan kesuksesan duniawi, keduanya bisa diraih secara bersamaan.

  • PENUTUP

Islam sebagai sebuah agama memiliki konsep-konsep (doktrin) yang harus diyakini oleh pemeluknya. Salah satu konsep yang dimiliki Islam adalah konsep hari akhir, kebangkitan kembali, surga dan neraka sebagai ganjaran dari perbuatan manusia di dunia, konsep ini dalam istilah filsafat dikenal dengan sitilah eskatologi. Adanya konsep eskatologi dalam Islam seringkali disalah artikan oleh kaum Muslim, kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa dunia tidaklah penting, mereka kemudian hanya melakukan ritual-ritual agama demi mendapatkan balasan baik di akhirat kelak. Fenomena ini juga menggeser pemahaman umat Muslim terkait makna ibadah, ibadah yang semula diartikan dan dilakukan sebagai kewajiban serta wujud penghambaan diri kepada Allah, berubah makna menjadi ritual-ritual khusus yang dapat membebaskan manusia dari hukuman akhirat.

Sebenarnya eskatologi dalam Islam bukan berorientasi pada kehidupan akhirat saja, adanya konsep ini adalah sebagai penyeimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, konsep ini sebenarnya berfungsi sebagai pagar agar manusia tidak melampaui batas dalam aktivitas keduniawian. Islam sebenarnya juga menyeru pemeluknya untuk mendapatkan kesuksesan di dunia. Hal itu tertuang jelas dalam banyak ayat di dalam Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk mencari rezeki dan memanfaatkan alam yang diciptakan Tuhan.

Permasalahan lain adalah sempitnya pemahaman kaum muslimin terhadap pemaknaan ibadah. Ibadah seringkali dimaknai hanya sebatas ritual formal saja sehingga manusia hanya berlomba dalam ibadah formal dan melupakan dunia. Padahal ibadah bisa diartikan secara luas, juga hal-hal yang menyangkut urusan dunia. Setiap aktivitas manusia bisa dijadikan ibadah asalkan memiliki unsur-unsur ibadah yaitu, niat, ilmu, perbuatan, ikhlash, dan tawakkal. Dengan luasnya pemaknaan akan ibadah ini tentu akan meningkatkan etos kerja umat Muslim. Karena semua perbuatan bisa dijadikan jalan untuk mencapai akhirat.

Daftar Pustaka

Mircae Eliade (ed). “Eschatology”, The Encyclopedia of Religion, New York : Macmillan Publishing Company, 1987.

Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Membangun Etos Kerja & Logika Berpikir Islami, Malang: UIN-Malang Press, 2009.

Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Emile Durkheim, Sejarah Agama, The Elementery Form of the Religious Life, Yogyakarta: IRCiSod, 2003.

Musa Asy’arie, Islam, Etos Kerja & Pemberdayaan Ekonomi Umat, Yogyakarta: Lesfi, 1997.

Hamzah Ya’qub, Etos Kerja Islami, Petunjuk Pekerjaan yang Halal dan Haram dalam Syari’at Islam, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1992.

Muhammad Quthub, Koreksi Atas Pemahaman Ibadah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1992.

Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah dalam Islam, Tidak disebutkan: Central Media, 1991.

[1] Mircae Eliade (ed). “Eschatology”, The Encyclopedia of Religion, (New York : Macmillan Publishing Company, 1987), hlm. 152-153.

[2] Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Membangun Etos Kerja & Logika Berpikir Islami, (Malang: UIN-Malang Press, 2009), hlm. vii

[3] Definisi Atau Pengertian Agama Menurut KBBI dan Para Ahli,  http://kamuiyakamu.com/knowledge/definisi-atau-pengertian-agama-menurut-kbbi-dan-para-ahli/, diakses pada tanggal 14 Maret 2016, pukul 14.47

[4] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 1

[5] Emile Durkheim, Sejarah Agama, The Elementery Form of the Religious Life, (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), hlm. 49

[6] Musa Asy’arie, Islam, Etos Kerja & Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Yogyakarta: Lesfi, 1997), hlm. 22

[7] Hamzah Ya’qub, Etos Kerja Islami, Petunjuk Pekerjaan yang Halal dan Haram dalam Syari’at Islam, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm. 6

[8] Emile Durkheim, Sejarah Agama, The Elementery Form of the Religious Life…, hlm. 66

[9] Muhammad Quthub, Koreksi Atas Pemahaman Ibadah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1992), hlm. 11

[10] Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah dalam Islam, (Tidak disebutkan: Central Media, 1991), hlm. 29

[11] Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Membangun Etos Kerja & Logika Berpikir Islami…, hlm. 10-11

[12] Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Membangun Etos Kerja & Logika Berpikir Islami…, hlm. 28-31

By rahmatyudistiawan

AHKAMUL KHAMSAH (Sebuah Kajian Ontologi)

Pendahuluan

Sekilas, hukum dapat dipahami sebagai sebuah sistem aturan dalam menjalani kehidupan. Secara simplistis dapat dimaknai demikian, namun mengapa kehidupan seseorang diperlukan adanya aturan? Atau lebih spesifik mengapa hukum bersifat mengatur kehidupan seseorang? Bukankah manusia dilahirkan sebagai makhluk yang memiliki kehendak sebagaimana naluri dan insting yang dimilikinya, atau lebih jauh lagi bila menggunakan terma agama bukankah manusia adalah khalifah di dunia dan itu menandakan bahwa manusia memiliki kapasitas yang tinggi dibandingkan hukum yang mengatur kehidupan manusia? Lalu mana yang lebih memiliki otoritas dalam kehidupan?

Penulis di satu sisi berusaha mengungkap kegamangan tersebut dengan melihat kembali tujuan hidup manusia. Mengapa demikian? Bukankah agama telah menerangkan perumpamaan tentang perbedaan manusia dengan binatang melalui penjelasan tentang kelebihan yang dimiliki manusia berupa akal untuk digunakannya sebagai pembeda antara yang baik bagi dirinya dan yang buruk untuk dihindarinya. Namun akankah cukup akal yang dimiliki manusia untuk dijadikan sebagai pedoman menjalani kehidupan di dunia? Bukankah manusia tidak hanya hidup seorang diri, lalu bila akal yang dimiliki berbeda satu sama lain dalam memahami sesuatu dalam kehidupannya (likulli ra’sin ra’yun), bagaimana menyelaraskannya? Bukankah berbagai kejadian yang mengarah kepada kehancuran dilandasi atas dasar kepentingan, sebagai contoh bila seorang raja memiliki kepentingan untuk memperkaya diri, ia akan memungut pajak lebih tinggi kepada masyarakatnya, dan dengan itu ia akan mendapatkan kemewahan serta merta. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan masyarakatnya setelah itu! Atau bila seseorang berpikir bahwa cara untuk memperkaya diri dengan mengambil hak orang lain, bukankah yang terjadi adalah sebuah kezaliman?

Satu hal yang penulis pahami bahwa, keteraturan hidup ditentukan pada teraturnya kehidupan manusia. Kehidupan manusia yang teratur ditentukan atas keseimbangan/berimbangnya kepentingan yang dimiliki oleh setiap manusia, yang didasarkan atas kebutuhan(hak) dan keinginan(nafsu), bagaimana mengimbanginya? Hukumlah yang dapat menengahi dan menyesuaikan antara kebutuhan dan kepentingan tersebut. Sebab hukum merupakan sebuah sistem aturan yang berkaitan erat dengan perbuatan manusia dengan sifatnya yang dapat memaksa pelaksana hukum untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu dan memberikan solusi untuk mengatur persoalan hidup yang dibutuhkan oleh pelaksana hukum demi tertatanya kehidupan manusia.[1]

Bila demikian hukum dipahami, berarti terdapat sifat-sifat yang dimiliki oleh hukum itu sendiri sebagai sebuah sistem aturan atau norma hukum. Yang pertama bersifat memaksa, yang kedua bersifat mengatur dan terakhir bersifat melindungi.[2] Hal ini berdasarkan pemahaman akan fungsi hukum dalam implementasinya sebagai sebuah norma terapan. Bila hukum diterapkan sebagaimana sifatnya, bagaimana dengan hukum Islam (Islamic Law/Islamic Rules) dalam pelaksanaannya? Implikasi dari pertanyaan ini melahirkan jawaban tentang sejarah para ulama dan fukaha ketika berbicara dan mengkaji hukum Islam secara teoritis dan metodis, yang dalam perkembangannya kemudian menciptakan sebuah pendekatan yang disebut dengan Ushul Fiqh. Ushul Fiqh bagi para ulama diciptakan untuk memberikan kemudahan dalam memahami hukum Islam sebagai pijakan awal (dasar dan landasan). Hukum Islam sebagaimana diketahui bersumber dari nash-nash yang termaktub dalam al-Qura’an dan Hadis. Hipotesa yang penulis peroleh dalam pembahasan ushul fiqh bahwa dari ­nash-nash yang bersumber dalam al-Qur’an dan Hadis inilah lahir kategorisasi hukum yang disebut dengan ahkamul khamsah. Bila dirinci berdasarkan maksud istilah yang digunakan, merupakan gambaran tentang karakteristik dari pelaksanaan hukum itu sendiri, secara singkat berawal dari problem bagaimana hukum itu diterapkan. Hal ini menyangkut tentang kewajiban, keharaman, kebolehan, nadb, dan larangan (makruh) suatu aturan ketika pelaksana hukum (mukallaf) menerapkan hukum yang dimaksud. Tentu hal tersebut berbicara tentang aktivitas para pelaksana hukum. Hal ini bagi penulis merupakan premis atau asumsi awal untuk memahami hakikat hukum terutama hukum Islam itu sendiri yang memiliki karakteristik dalam ahkamul khamsah, oleh karena itu akan dijelaskan lebih lanjut secara rinci dalam perspektif ontologis bahasan tentang hal tersebut.

Pembahasan

Berbicara lima dasar hukum dalam wacana ontologi berarti berbicara tentang hakikat hukum Islam dalam aspek penerapannya bagi umat muslim di dunia, umumnya bagi manusia. Di awal dijelaskan bahwa hukum bertujuan untuk mengatur segala aktivitas manusia agar melahirkan keadilan, keseimbangan secara kesinambungan demi keteraturan hidup manusia. Secara definitif, hukum Islam adalah dua kata yang saling mengikat, yakni kata hukum dan Islam. Hukum adalah, keseluruhan dari pada peraturan-peraturan yang mana, tiap-tiap orang yang bermasyarakat wajib mentaatinya, bagi pelanggaran terdapat sangsi.[3] Sedangkan kata Islam berasal dari kata salima; aslama yang berarti selamat sejahtera, kedamaian, kepatuhan dan ketundukan.[4] Adapun istilah hukum Islam merupakan istilah yang muncul di luar bahasa Arab, seperti Islamic Law dan Islamietishe Recht. Sedangkan dalam bahasa Arab tidak ditemukan sama sekali istilah tersebut kecuali jika dikaitkan dengan tiga terma yang baku di dalam ilmu ke-Islaman, yakni syari’ah[5], fiqh[6], dan qanun[7]. Istilah hukum Islam pada dasarnya merupakan frasa yang termasuk kategori atributif, yakni frasa yang berfungsi untuk mensifati, di mana kata kedua menjadi sifat dari kata pertamanya. Dengan demikian, maka hukum Islam dapat diartikan sebagai hukum yang bersifat Islami atau digali dari nilai-nilai Islam.[8]

Lalu definisi apa yang mudah untuk memahami istilah ahkamul khamsah? Secara etimologi terma ahkamul khamsah merupakan nomenklatur yang digunakan oleh para ahli hukum Islam untuk memberikan gambaran tentang karakteristik ajaran hukum yang tertuang dalam syariat Islam, yang bersumber dari mashadirul ahkam berupa nash-nash yang termaktub di dalam al-Qur’an dan Hadis. Apa saja itu? Yaitu terkait dengan kewajiban, keharaman, sunah, kebolehan dan larangan (makruh) akan suatu perbuatan hukum, dan karakteristik tersebut diistilahkan sebagai lima hukum dasar (ahkamul khamsah), karena jumlahnya yang 5 tersebut cukup menggambarkan karakter hukum itu sendiri.

Ketika seseorang diperintahkan untuk melaksanakan sebuah perbuatan hukum dalam kategori perintah wajib, maka saat itu pula pelaksana hukum (mukallaf) wajib untuk melaksanakannya. Sebaliknya bila perintah wajib masuk dalam kategori larangan untuk ditinggalkan, maka pelaksana hukum diwajibkan untuk menjauhinya atau meninggalkannya. Hal ini berkaitan dengan sifat hukum itu sendiri yang memaksa pelaksana hukum untuk melakukan sesuatu dalam bentuk perbuatan hukum sebab ketentuannya yang tidak dapat dikesampingkan. Bila pelaksana hukum enggan atau justru melanggar kewajiban yang diperintahkan maka ia dapat dikategorikan atau dijatuhkan sebagai seseorang yang melanggar aturan hukum dan akan mendapatkan sangsi atas pelanggaran yang dilakukan.[9] Dalam ahkamul khamsah perbuatan tersebut diistilahkan dengan terma fardhu dan haram.

Fardhu atau wajib merupakan kewajiban hukum yang harus dilaksanakan, sedangkan haram merupakan kewajiban hukum yang harus ditinggalkan. Contoh yang bisa dimasukkan dalam kategori di atas, terkait dengan titah Allah untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka misalnya. Kewajiban ini memberikan gambaran terkait dengan perintah menjauhi perilaku yang menjerumuskan diri dan keluarganya pada  hal-hal tercela yang mengakibatkan mereka jatuh ke dalam kemadharatan (api neraka).[10] Apa saja perilaku tersebut, tentu perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama, semisal membunuh, korupsi, narkoba dan lain sebagainya yang berdampak langsung tidak hanya pada dirinya namun juga citra keluarga. Bukankah lazim bila hal itu tidak dilarang akan berakibat fatal bagi kehidupan? Selain itu ada juga perintah terkait dengan ibadah shalat misalnya.[11] Shalat merupakan amaliah yang masuk dalam kategori perintah wajib dan juga sebagai bagian fondasi agama yang menentukan seseorang itu disebut seorang muslim ataukah bukan, sebab hal tersebut erat hubungannya dengan rukun Islam yang lima. Mengapa sedemikian rupa? Hal tersebut berhubungan langsung dengan implikasi kesaksian seorang hamba (pelaksan hukum) berupa syahadat dengan melahirkan bentuk ketaatan dan patuh terhadap perintah-Nya, sebab bila dipahami melalui gerakan-gerakan shalat yang sangat jelas menggambarkan penghambaan seseorang dengan ruku’ dan sujudnya, menjelaskan bahwa tiada daya dan upaya manusia semaksimal apapun usahanya di dunia kecuali atas ridho Allah swt. Dengan itu manusia semestinya tidak akan serta merta menyombongkan diri atas upaya yang telah ia lalui. Dengan melahirkan rasa syukur atas pertolongan Allah maka ia setidaknya menzakatkan[12] harta yang ia peroleh dengan sekuat tenaga untuk membantu kesusahan umat manusia yang membutuhkan pertolongan (hablum minallah wa hablum minannas). Dampak lain dari hal di atas juga menjadikan puasa sebagai cara agar manusia mampu mendekatkan diri pada-Nya,[13] dengan menyucikan diri melalui riyadhoh yang maksimal dengan menjauhi segala hal yang mengotori diri maka kedekatan yang ia raih.

Selain dari pada itu, dalam hukum Islam terdapat pula pelaksanaan hukum yang sifatnya fakultatif. Hal ini didasari atas pemahaman tentang sifatnya yang hanya mengatur, diasumsikan sebagai perbuatan yang hanya berlaku secara opsional. Sebagai contoh bila dikaitkan dengan 3 karakter hukum yang lainnya, yaitu mandub, mubah dan makruh, salah satunya tentang siwak yang sering dilakukan oleh baginda Rasulullah Muhammad saw. ketika hendak shalat misalnya. Rasul menyarankan (bahkan masuk dalam perintah) dalam sabdanya untuk bersiwak setiap kali wudhu,[14] namun apakah perintah tersebut berlaku sifat hukum yang memaksa umat muslim untuk bersiwak ketika hendak melaksanakan shalat? Dan apakah harus dengan menggunakan siwak yang hanya terdapat di Timur Tengah sana untuk dikonsumsi setiap kali shalat?

Contoh lain, terkait dengan etika makan yang diperintahkan oleh Nabi untuk mengucapkan Bismillah terlebih dahulu sebelum makan, dan menggunakan tangan kanan untuk menyuapkan makanan.[15] Apakah perintah tersebut berlaku wajib? Memang secara etika bila hal itu tidak dilaksanakan maka perbuatan tersebut dianggap tercela, namun apakah agama menganggap hal itu sebagai perbuatan dosa atau kemungkaran yang berdampak pada kehancuran hidup seseorang bila tidak dijalankan? Contoh lain yang terakhir, terkait dengan perintah Allah swt. mengenai doa, ud’uni astajib lakum, perintah tersebut menandakan pada anjuran yang seharusnya dilaksanakan bagi hambanya yang mendekatkan diri kepada-Nya, namun terkait teknis, apakah perintah berdoa tersebut harus menggunakan bahasa Arab? Bisakah menggunakan bahasa lain? Bukankah al-Qur’an menggunakan bahasa Arab dan itu lebih baik karena bahasa Arab adalah bahasa al-Qur’an?

Kesemua hal di atas tak lain, memiliki tujuan yang sangat mulia dari yang Maha Mulia. Sebab hukum yang dibentuk merupakan titah langsung dari yang Maha Pencipta, yang mengerti segala kebutuhan umat manusia, dan mengetahui segala urusannya. Jelas bahwa dari seluruh bentuk ujaran dan ajaran berupa hukum yang bersifat wajib, haram, mandub, mubah dan makruh kesemua memiliki indikasi atas perbaikan tatanan hidup manusia. Hal tersebut melahirkan sifat yang ketiga yaitu melindungi pelaksana hukum. Sebenarnya bila kita mengkaji mengapa suatu hukum diberlakukan, tentu tidak terlepas pada maksud pembuat hukum itu sendiri. Yang dalam perkembangan kajian hukum Islam muncul istilah maqashidus syari’ah sebagai sebuah pendekatan memahami maksud syara’ dalam penerapannya.

Dalam kajian maqashidus syari’ah terdapat formulasi mengenai standar alasan diterapkannya suatu hukum bagi pelaksana hukum dalam konteks kemaslahatan yang bersifat dharuriyat yang di formulasi menjadi kulliyatul khamsah. Kulliyatul khamsah ini dibentuk untuk memberikan kejelasan tentang tujuan diterapkannya suatu ajaran dalam hukum Islam. Yang kesemua itu bertujuan untuk melindungi (hifz) marwah agama sebagai pedoman hidup dalam tatanan sosial berupa nilai dan norma yang dikandungnya, melindungi harga diri dari segala bentuk kekerasan, pelecehan dan sebagainya, melindungi keluarga dari segala macam mara bahaya, dan hal lain sebagainya. Penjelasan lebih rinci tentang pembahasan di atas penulis tuangkan melalui alur berpikir tentang ontologi lima dasar hukum dalam Islam (ahkamul khamsah) di bawah ini.

  • Tingkatan Ahkamul KhamsahUntitled1.png
  • Hakikat Ahkamul KhamsahUntitled.png
  • Sifat dan Karakteristik Ahkamul Khamsah

Snapshot_2019-1-9_11-20-7.jpg

 

Kesimpulan

Hukum Islam sebagai sebuah ilmu, berangkat dari nash-nash (teks-teks) agama yang nilai kebenarannya bagi umat Islam absolut (mutlak). Hukum Islam hadir sebagai jawaban dari realitas kehidupan manusia yang menghendaki keteraturan dalam kehidupannya. Dalam Islam, landasan hukum yang disepakati berkaitan dengan disiplin ilmu ini adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Wahyu tersebut yang sampai saat ini terus eksis dan familiar disebut dengan al-Qur’an. Berangkat dari nash utama tersebut kemudian muncul hadis Rasul, selain sebagai bayan (penjelas) juga sebagai penafsiran lebih jauh dalam konteks praktis/teknis.

Dari pembahasan ini, penulis dapat simpulkan bahwa ketika membicarakan hakikat dari lima dasar hukum yang telah ditetapkan dalam hukum Islam tak terlepas dari tujuan ditetapkannya perintah hukum bagi pelaksana hukum. Perintah hukum yang dimaksud memiliki standarisasi sesuai dengan kemaslahatan pelaku hukum yang erat kaitannya dengan haknya terhadap Allah swt. dan haknya terhadap sesama manusia.

Daftar Pustaka

al-Munawwar, Said Agil Husin, Al-Quran; Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2003.

al-Qaradhawi, Yusuf, Dirasah fi Fiqh Maqashid asy-Syari’ah; Baina al-Maqashid al-Kulliyyat wa an-Nushush al-Juz’iyyat, diterjemahkan oleh Arif Munandar Riswanto menjadi “Fiqh Maqashid Syariah; Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal”, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.

Arfa, Faisar Ananda, Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013.

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Dahlan, Abdul Aziz,…[et al.], Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2006.

Dahlan, Moh., Abdullah Ahmad An-Na’im: Epistemologi Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

http://id.m. wikipedia.org/wiki/Hukum

Idri, Epistemologi Ilmu Pengetahuan dan Keilmuan Hukum Islam, Jakarta: Lintas Pustaka, 2008.

Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Amzah, 2005.

Minhaji, Akh., dkk., Antologi Hukum Islam, Yogyakarta: Program Studi Hukum Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010.

Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984.

Puspa, Yan Pramadya, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia Inggris, Semarang: Aneka Ilmu, 1990

Rajafi, Ahmad, Ijtihad Islam Nusantara: Pembaharuan Hukum Keluarga Melalui Model Inkulturasi Wahyu dan Budaya Lokal, Yogyakarta: Istana Publishing, 2016.

Rajafi, Ahmad, Nalar Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Yogyakarta: Istana Publishing, 2015.

Sahal, Akhmad, dan Munawir Aziz (ed.), Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan, Jakarta: Mizan, 2015.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009.

[1] Penulis telah berupaya semaksimal mungkin mencari secara definitif makna hukum yang lebih dekat pada makna aslinya atau dapat diterima oleh semua pihak. Namun temuan yang diperoleh justru hingga saat ini, kesepahaman para ahli mengenai pengertian hukum belum tercapai. Bahkan ada anekdot yang menyindir bahwa bila seseorang bertanya tentang pengertian hukum kepada sepuluh pakar hukum maka yang didapatkan adalah sebelas pengertian hukum. Ini menjadi kendala bagi pihak yang ingin mendalami dan mempelajari hukum. Tetapi secara umum rumusan pengertian hukum yang mendekati setidaknya memiliki beberapa unsur: 1. Mengatur tingkah laku atau tindakan manusia; 2. Bersifat imperatif (memaksa) dan fakultatif (mengatur), 3. Memiliki sanksi dari setiap pelanggaran atau perbuatan melawan hukum. Lihat, http://id.m. wikipedia.org/wiki/Hukum

[2] Sifat yang terakhir bagi penulis dirasa perlu sebab suatu perbuatan hukum tak terlepas dari tujuan hukum itu ditetapkan. Hal yang melandasi pemikiran ini bersumber atas asumsi dasar dalam kajian atau pembicaraan tentang maqashid asy-syari’ah. Dalam kajian filsafat hukum Islam, terdapat tiga aspek tujuan hukum ditetapkannya sebuah syara’ berdasarkan kemaslahatannya, yaitu: dharuriyat, hajjiyat dan tahsiniyat. Lihat, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013) h. 113-127.

[3] Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia Inggris (Semarang: Aneka Ilmu, 1990) hlm. 439

[4] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984) hlm. 701

[5] Menurut Yusuf al-Qaradawi, syari’ah adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama. Atau hukum agama yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah, baik berupa (shaum, shalat, haji, zakat, dan seluruh amal kebaikan) atau mu’amalah yang menggerakkan kehidupan manusia (juab beli, nikah, dll.). Lihat Yusuf al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid asy-Syari’ah; Baina al-Maqashid al-Kulliyyat wa an-Nushush al-Juz’iyyat, diterjemahkan oleh Arif Munandar Riswanto menjadi “Fiqh Maqashid Syariah; Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal” (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006) hlm. 12

[6] Menurut Amir Syarifuddin, secara ringkas fiqh dapat diartikan sebagai dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah. Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta : Kencana, 2009) Jilid. 1, hlm. 5

[7] Kata al-Qanun berasal dari bahasa Yunani dan diserap ke dalam bahasa Arab melalui bahasa Suryani. Pada asalnya kata ini berarti alat pengukur, kemudian berkembang menjadi kaidah, norma, undang-undang, peraturan atau hukum. Lihat Abdul Aziz Dahlan [et al.], Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2006) Cet. ke-7, Vol. 5, hlm. 1439

[8] Idri, Epistemologi Ilmu Pengetahuan dan Keilmuan Hukum Islam (Jakarta: Lintas Pustaka, 2008) Cet. I, hlm. 97

[9] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Amzah, 2005) h. 79, 86, 307, 351

[10] Dalam surat at-Tahrim ayat 6 Allah swt. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.

[11] Dalam surat al-Ankabut ayat 45 Allah swt. berfirman:

وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Artinya: “…dan dirikanlah salat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari keji dan mungkar…”

[12] Dalam surat at-Taubah ayat 103, Allah swt. berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ 

Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”

[13] Allah swt. berfirman dalam surat al-Baqarah 183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

[14]  Dalam hadis dikatakan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ وُضُوءٍ أَخْرَجَهُ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ. وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَذَكَرَهُ الْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda: “Seandainya tidak memberatkan atas umatku niscaya aku perintahkan mereka bersiwak (menggosok gigi dengan kayu aurok) pada setiap kali wudlu.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik, Imam Ahmad dan an-Nasa’i)

[15] Rasulullah saw. bersabda:

يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

Artinya: “Wahai anakku, bacalah “bismilillah”, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)

By rahmatyudistiawan

Teori Dasar Penelitian Agama: Penelitian Agama di Indonesia Oleh A. Mukti Ali

A. LATAR BELAKANG

Penelitian agama menempatkan diri sebagai suatu kajian yang menempatkan agama sebagai sasaran atau obyek penelitian. Secara metodologis berarti agama haruslah dijadikan sebagai suatu yang riil betapapun mungkin terasa agama itu sesuatu yang abstrak. Dari sudut ini mungkin dapat dibedakan ke dalam tiga kategori agama sebagai fenomena yang menjadi subyek materi penelitian, yaitu agama sebagai doktrin, dinamika dan struktur masyarakat yang dibentuk oleh agama dan sikap masyarakat pemeluk terhadap doktrin. [1]

Pada tahun 1975, periode pemerintahan Orde Baru (masa-masa pembangunan atau dikenal dengan kabinet gotong royong) mencanangkan dan melaksanakan pembangunan secara bertahap melalui Repelita, dalam menyusun kebijaksanaan dan rencana pembangunan yang selalu didasarkan pada data dan informasi empiris yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian dan pengembangan. Dengan demikian, suatu rencana pembangunan diharapkan dan diselenggarakan atas dasar kenyataan obyektif serta prinsip-prinsip ilmiah yang lebih bisa dipertanggungjawabkan dan bukan hanya didasarkan kepada cita-cita atau keinginan semata.[2]

Selaras dengan pemikiran tersebut, di mana kebutuhan akan operasional penelitian dirasakan sangat mendesak dan perlu dikembangkan dalam setiap sektor pembangunan, maka salah satu usaha pemerintah pada saat itu dalam menopang kebutuhan tersebut dibentuklah Unit Kerja yang bergerak dalam bidang penelitian dan pengembangan pada setiap departemen, salah satunya departemen agama.[3]

Berdasarkan keputusan Presiden No. 44 dan 45 Tahun 1974 dibentuklah Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Agama pada tahun 1975, masa kepemimpinan Mukti Ali. Yang mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pembinaan semua unit-unit penelitian dan pengembangan, baik yang dilakukan oleh unsur-unsur lain dalam lingkungan Departemen Agama. Dalam menyelenggarakan tugasnya Badan Litbang Agama dalam keseluruhan sistem kerja Departemen Agama adalah membantu Menteri Agama memberikan masukan (input) untuk menyusun/pengambilan kebijaksanaan, pengembangan konsepsi, perencanaan jangka panjang serta menyempurnakan segi-segi kelemahan kebijaksanaan di bidang keagamaan yang pernah dilakukan oleh Departemen Agama. Dan salah satu proyek besar yang hingga kini terus dijalankan oleh Departemen Agama (Kementrian Agama saat ini) adalah Penelitian Keagamaan/Agama.[4]

Penelitian agama merupakan wadah Departemen Agama dalam menyelesaikan problem keagamaan di Indonesia, sebab tugas pokoknya sehari-hari erat kaitannya atau berhubungan dengan masalah penelitian dan pengembangan, khususnya pengembangan dan penelitian agama. Pekerjaan yang nantinya akan dilakukan diarahkan kepada penelitian dan pengembangan konsepsi-konsepsi mengenai gejala keagamaan. Yang nantinya dibutuhkan sebagai masukan pemikiran untuk merumuskan bahan penyusunan kebijaksanaan, pengembangan konsepsi dan perencanaan jangka panjang bagi Kementerian Agama. Hal tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Agama No. 18 tahun 1975 yang dalam penjelasannya merumuskan tentang kegiatan-kegiatan Balitbang Agama sebagai suatu satuan kerja dari suatu departemen/eksekutif. Balitbang Agama diarahkan untuk membantu Departemen Agama dalam merumuskan kebijakan, pengambilan keputusan, dan perencanaan perspektif jangka panjang. Dalam implementasinya, mengadakan telaah-telaah mengenai kasus-kasus kehidupan beragama, lektur keagamaan, dan pendidikan agama, kemudian disampaikan kepada pimpinan sebagai telaahan staf, yang keputusan selanjutnya terserah kepada pertimbangan dan keputusan pimpinan.[5]

Karena pentingnya kegiatan ini dalam membantu tugas menteri dalam penyelesaian urusan keagamaan. Maka kiranya kesimpulan dan rekomendasi penelitian dan pengembangan dapat dimanfaatkan sepenuhnya dan kiranya dapat pula memperoleh tanggapan, kritik dan saran untuk bahan menentukan sasaran-sasaran penelitian dan pengembangan. Berarti berdampak untuk jangka panjang, kepentingan tersebut dapat diselenggarakan bila ditekankan pada penggalian lebih dalam hal-hal yang menyangkut kehidupan keagamaan, khususnya agama dan perubahan sosial.[6] Upaya tersebut menjadi percuma bila kita hanya mengandalkan logika, penalaran deduktif, apalagi spekulasi teoritis, tetapi usaha yang lebih berdampak dan efektif yang dapat menyelesaikan masalah umat secara empiris (problem solving with empirical system).

Yang menjadi kendala terkait orientasi pada tata kerja Balitbang Agama dalam melaksanakan tugasnya untuk melaksanakan penelitian agama, yaitu berkenaan dengan alat bantu (tools/metodologi) yang digunakan. Sebab selama pelaksanaan, konsep dan dasar teori belum terjelaskan secara sistematis, walaupun tidak menjadi kendala yang memberatkan bagi para peneliti di bidangnya (khususnya para peneliti agama dan sosial)[7]. Namun kekhawatiran ini nampak ketika A. Mukti Ali mengakui bahwa pengetahuan tentang agama Islam di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang berarti dibanding dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan bangsa ini (alias jumud), baik yang menyangkut sistem budayanya maupun sistem sosial. Penelitian keagamaan belum menampakkan wajahnya di Indonesia. Hal ini disebabkan karena bidang yang menjadi garapan dalam penelitian agama berbenturan dengan yang dikaji dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. Dan ini nampak ketika A. Mukti Ali sendiri mengungkapkan kebingungannya tentang teori dasar penelitian agama.[8]

Itulah penjelasan sekilas tentang awal mulai dicanangkannya penelitian agama. Sekarang yang menjadi masalah dari penjelasan di atas adalah, apakah penelitian agama telah terkonsep secara matang oleh Departemen Agama yang pada saat itu dipimpin oleh Mukti Ali? Maka dari itu, untuk menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut, Mukti Ali selaku Menteri Agama yang bertanggung jawab atas inisiasi dari proyek penelitian agama Departemen Agama tentu pernah menyampaikan unek-uneknya menyangkut hal tersebut. Maka yang menjadi pokok masalah selanjutnya, bagaimanakah bentuk penelitian agama dalam benak Mukti Ali? Dan tawaran apa yang diberikan oleh Mukti Ali dalam menjelaskan konsep penelitian agama? pertanyaan-pertanyaan mendasar inilah yang perlu kita telaah mengenai teori dasar penelitian agama dan itu tertuang dalam kumpulan tulisan yang disusun oleh Mulyanto Sumardi mengenai penelitian agama di Indonesia oleh A. Mukti Ali. Sehingga judul yang tepat untuk makalah ini membahas tentang “Teori Dasar Penelitian Agama: Penelitian Agama di Indonesia oleh A. Mukti Ali”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat mengambil beberapa rumusan masalah, yaitu:

  1. Bagaimana bentuk penelitian agama yang digambarkan oleh Mukti Ali dalam tulisannya tersebut?
  2. Tawaran apa yang diberikan oleh Mukti Ali ketika mengemukakan konsep penelitian agama?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan dari telaah pemikiran A. Mukti Ali dalam tulisannya yang membahas tentang Penelitian Agama di Indonesia, untuk mengetahui secara langsung pemikiran Mukti Ali selaku Menteri Agama yang melahirkan dan membentuk Badan Penelitian dan Pengembangan Agama di Departemen Agama. Sejauh mana konsep yang dibuat, dan tawaran apa yang disuguhkan menyangkut teori dasar penelitian agama.

Manfaatnya yang bisa kita dapatkan, sebagai pengetahuan atas teori dasar dan arah tujuan dari penelitian agama yang dipahami oleh A. Mukti Ali dalam paparannya yang terdapat pada kumpulan tulisan oleh Mulyanto Sumardi tentang penelitian agama di Indonesia. Kita pun juga dapat mengaplikasikan ide yang dibuat olehnya dalam lingkup penelitian agama di Indonesia.

D. REVIEW STUDI TERDAHULU

  1. Imam Suprayogo dan Tobroni, dalam bukunya Metodologi Penelitian Sosial-Agama, buku ini membahas tentang penelitian agama yang mengarah kepada penelitian sosial. Buku ini bisa dikatakan melengkapi dan menjelaskan lebih lanjut alur penelitian agama secara lebih gamblang. Sebab menurut penulis buku ini, penelitian agama tidak dapat dipisahkan dari penelitian sosial. Hal ini terlihat pada halaman 17-18 di mana penulis buku ini menyatakan bahwa masalah agama adalah masalah yang senantiasa menyertai kehidupan manusia sepanjang sejarahnya sebagaimana masalah sosial lainnya, seperti masalah ekonomi dan politik. Selain itu beliau juga menyinggung bahwa keberagamaan menjadi bagian dari kebudayaan manusia yang telah dikembangkan sedemikian rupa, baik berupa ritus, pranata sosial, maupun perilaku dalam berbagai dimensinya yang itu semua terdapat dalam penelitian ilmu pengetahuan sosial. Dalam rangka mengkaji perilaku manusia, maka tak terkecuali penelitian agama yang juga menjadikan objek kajiannya salah satunya adalah perilaku keberagamaan manusia. Karena itu, menurut penulis buku ini sebuah penelitian disebut sebagai penelitian agama atau penelitian sosial didasarkan pada objek yang dikaji, bukan karena metodologinya. Objek studilah yang menentukan metode, bukan sebaliknya. Walaupun pembahasan dalam buku ini lebih kepada penjabaran tentang metodologi dalam melaksanakan penelitian. Mulai dari persiapan penelitian sampai kepada finishing
  2. Jamaluddin Rakhmat, dengan tema Metodologi Penelitian Agama dalam kumpulan tulisan yang berjudul Metodologi Penelitian Agama; Suatu Pengantar oleh Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim. Tulisan ini menceritakan tentang keberagamaan muncul dalam lima dimensi,yakni ideologis, intelektual, eksperiential, ritualistik, dan konsekuensial. Dimensi ideologis berkenaan dengan seperangkat kepercayaan; Dimensi intelektual, pada dimensi ini penelitian dapat diarahkan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat melek agama (relogious literacy) para pengikut agama; Dimensi ekperiensial, yakni keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan agama; Dimensi ritualistik merujuk pada ritus-ritus keagamaan yang dianjurkan oleh agama dan atau dilaksanakan oleh pengikutnya; Dimensi konsekuensial, merupakan segala implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama. Penerapan atau metodologi penelitian agama yang Rakhmat tawarkan dalam tulisannya ini dapat dilakukan melalui 3 paradigma, ilmiah, akliah (logika), dan irfaniah (mistikal). Menurut ilmu tasawuf, langkah –langkah penelitian irfaniah adalah Takhliyah (peneliti mengosongkan perhatiannya dari makhluk dan memusatkannya kepada Sang Pencipta, Tahliyah (peneliti memperbanyak amal shaleh dan melazimkan hubungan dengan al-Khaliq melalui ritus-ritus tertentu, Tajliyah (peneliti menemukan jawaban batiniyah terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya).

Dari kedua studi review di atas, sebenarnya menurut penulis saling melengkapi sisi kekurangan yang belum terungkap dan terpaparkan secara jelas dalam konsep penelitian agama. Sehingga antara yang ditulis oleh A. Mukti Ali dengan penulis-penulis di atas, menjadi referensi pelengkap teori dasar penelitian agama di Indonesia beserta metodenya.

E. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang diterapkan oleh A. Mukti Ali adalah dengan melihat secara langsung (empiris) berbagai terapan metode para peneliti di Indonesia. Baik itu para peneliti di bidang agama dengan metodenya yang berkaitan dengan keagamaan maupun peneliti di bidang sosial yang memiliki metode atau alat penelitiannya sendiri di bidang sosial. Selain itu juga, Mukti Ali melihat berbagai pengalaman agama (religious experiance research) dari refleksi keagamaan masyarakat Indonesia. Baik menyangkut tentang tradisi keagamaan, perilaku keagamaan sampai wacana-wacana keagamaan.

F. PEMBAHASAN

Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan inti, ada satu hal yang perlu disampaikan menurut penulis, sebab kebingungan akan epistemologi penelitian agama ternyata tidak hanya dirasakan bagi penulis, namun juga banyak akademisi yang bergelut di bidang keagamaan. Dalam kata pengantar yang ditulis oleh Taufik Abdullah dalam bukunya Metodologi Penelitian Agama disebutkan bahwa ketika “penelitian agama” baru saja mulai digalakkan, ada seorang ulama yang berkata dengan nada mengejek, “Baru kali ini saya mendengar agama diteliti.” Hal ini senada dengan apa yang pernah penulis sampaikan sebelum revisian makalah ini dibuat, di mana penulis bertanya, “apakah itu penelitian agama, mengapa agama perlu untuk kita teliti, dan apa alasannya.” Itu semua merupakan respon yang secara tiba-tiba ketika mendengar nomenklatur yang dirasa asing di telinga kita.[9] Namun ada hal penting yang perlu dikemukakan dari kejadian ini, bahwa tanpa adanya kejelasan tentang konsep “penelitian agama”, maka akan terjadi miss komunikasi.

Satu hal yang menjadi poin pembahasan yang disampaikan oleh Taufik Abdullah dalam tulisannya mengenai ekskursi di wilayah metodologi penelitian agama dan sosial bahwa Agama memainkan peranan penting dalam realitas dan dinamika sosial. Penelitian agama menjadi gejala sosial kultural (bukan sebagai suatu ajaran) sebaiknya bertolak dari kesadaran metodologis akan adanya hubungan timbal balik yang dinamis -segi tiga antara pola perilaku, struktur realitas dan dunia ide atau nilai. Meskipun ketiganya saling mempengaruhi secara metodologisnya akan tetapi memiliki kecenderungan untuk memperlakukan struktur realitas dan dunia ide yang ternukil dalam teks sebagai pemberi keterangan terhadap perilaku. Penelitian memang memiliki karakter yang refleksif yang hasilnya diharapkan memberi pengaruh terhadap subjek matter (sasaran perhatian akademis).[10]

Mukti Ali melalui buah tangannya yang terdapat dalam kumpulan artikel yang disusun oleh Mulyanto Sumardi, menulis tentang penelitian agama di Indonesia. Di situ diuraikan mulai dari membahas gejala yang nampak dari kecenderungan kaum intelektual di Indonesia yang ikut membahas masalah-masalah agama. Sehingga terbagilah dua kalangan ahli yang selama ini berkecimpung dalam dunia penelitian, yaitu kalangan ahli di bidang ilmu sosial dan kalangan ahli di bidang ilmu agama. Mengapa demikian? Sebab di antara mereka saling membutuhkan, satu sisi ahli di bidang sosial memang sering berkutat kepada kajian tentang masyarakat, sedangkan kalangan ahli di bidang agama tahu bahwa agama adalah sebuah keyakinan yang dianut oleh masyarakat. Oleh karena itu, membicarakan masyarakat tidak bisa terlepas kepada agamanya, maupun membicarakan soal agama tidak bisa terlepas kepada masyarakat sebagai aplikator ajaran agamanya di dalam kehidupan sosial. Lalu apakah sudah barang tentu teori-teori dalam ilmu sosial menjadi teori dasar penelitian agama? di sini penulis belum dapat memastikannya, dan hal inilah yang akan kita bahas pada kesempatan ini.

Kemudian, beliau pula membahas tentang pentingnya penelitian agama di Indonesia[11] bagi perkembangan ilmu pengetahuan maupun perencanaan pembangunan. Secara menyeluruh dapat dipahami bahwa agama dan masyarakat saling mempengaruhi, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Bahwa agama mempengaruhi jalannya masyarakat. Demikian juga pertumbuhan masyarakat itu mempengaruhi pemikiran terhadap agama. Dan ini kembali kepada penjelasan sebelumnya bahwa kalangan ahli di bidang sosial dan ahli di bidang agama dapat ditumbuhkan rasa kesadaran saling perlu memerlukan dan saling membutuhkan demi perkembangan keilmuan maupun pembangunan.[12]

Masuk ke dalam pembahasan tentang penelitian agama, selanjutnya Mukti Ali membahas tentang pengalaman umat beragama sebagai hal yang diamati dalam penelitian agama. Hal ini disebabkan perkembangan ilmu-ilmu (eksakta) serta gejala-gejala sosial yang berdampak kepada pengalaman konkret umat beragama. Beliau memastikan bahwasanya penelitian agama tentu ada sangkut pautnya dengan pengalaman umat beragama. Umat beragama yang memperkembangkan hubungannya dengan Allah, hidupnya di tengah-tengah pertemuan dan pergaulan dengan manusia-manusia dalam dunia. Penelitian itu berhubungan dengan ungkapan umat Allah sebagai umat Allah dan pengungkapan umat Allah yang menjalankan tugasnya sebagai tugas anggota masyarakat di tengah dunia. Jelasnya bahwa penelitian tersebut berpijak pada situasi konkret, pada pengalaman umat manusia.

Dalam pembahasan tersebut terungkap bahwa Mukti Ali sebenarnya merasa bingung apa yang menjadi alat ukur atau teori yang digunakan dalam penelitian agama. Dalam tulisannya tersebut beliau sendiri bertanya apakah penelitian agama akan meminjam hasil-hasil pengamatan dan penelitian ilmu-ilmu sosial? Ataukah penelitian agama seharusnya mempunyai alat-alatnya sendiri untuk menghadapi dan meneliti situasi konkret itu?[13] Di sini terlihat betapa belum terkonsep secara matang bidang keilmuan yang satu ini dari segi teoritis dan epistemologis, apalagi untuk mempraktekkan bidang ilmu ini dalam ranah yang lebih luas, walau kita tahu sudah sangat banyak para akademisi yang menulis tentang metodologi penelitian agama.

Namun, bila mendalami maksud A. Mukti Ali dalam memahami penelitian agama, bisa dikatakan sejalan dengan apa yang ditulis oleh M. Amin Abdullah melalui pengantarnya dalam buku metodologi studi agama bahwa diskursus keagamaan kontemporer dijelaskan “agama” ternyata mempunyai banyak wajah (Multifaces) dan bukan lagi seperti dulu orang memahaminya, yakni hanya semata-mata terkait soal ketuhanan, kepercayaan, keimanan, kredo, pedoman hidup dan seterusnya. Selain ciri dan sifat konvensioanalnya yang memang mengasumsikan bahwa persoalan agama hanyalah semata-mata persoalan ketuhanan, agama ternyata juga terkait erat dengan persoalan-persoalan historis kultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi belaka (sosial).

Dari studi historis-empiris terhadap fenomena keagamaan diperoleh masukan bahwa agama sesungguhnya juga sarat dengan berbagai “kepentingan” yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri. Campur aduk dan berkait kelindannya “agama” dengan berbagai “kepentingan” sosial kemasyarakatan pada level historis-empiris merupakan salah satu persoalan keagamaan kontemporer yang paling rumit untuk dipecahkan. Hampir semua agama mempunyai “institusi” dan “organisasi” pendukung yang memperkuat, menyebarluaskan ajaran agama yang diembannya. Institusi dan organisasi sosial-keagamaan tersebut ada yang bergerak dalam wilayah sosial-budaya, sosial kemasyarakatan, pendidikan, politik, ekonomi, jurnalistik, pertahanan keamanan, paguyuban, dan lain sebagainya. Jika memang demikian halnya, maka sangat sulit menjumpai sebuah agama tanpa terkait dengan “kepentingan” kelembagaan, kekuasaan, dan intertest-interest tertentu betapapun tingginya nilai transendental dan sosial yang dikandung oleh kepentingan tersebut. Di Indonesia, dan berbagai negara lain, fenomena ini sangat mudah dijumpai.[14]

Untuk itu, jelas bilamana penelitian agama dekat dengan subjek dan objek yang diteliti mengenai masyarakat dan lingkupnya (perilaku sosial, pranata sosial, dan lain sebagainya). Maka ketika memahami penelitian agama, kita mesti tahu terlebih dahulu tentang memahami agama sebagai objek penelitiannya. Memahami agama, yang perlu kita ketahui terbagi menjadi tiga kategori pemahaman. Pertama, agama sebagai doktrin. Penelitian agama sebagai suatu doktrin menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertanyaan yang timbul di antaranya: apakah substansi dari keyakinan religius itu, apakah yang diyakini sebagai kebenaran yang hakiki, apa makna ajaran agama itu bagi pemeluknya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mungkin paling berdekatan dengan usaha pencarian kebenaran agama, sebagaimana yang dilakukan oleh pemikir agama dan mujtahid.

Tetapi apabila para mujtahid mengatakan bahwa “inilah ajaran yang sesungguhnya” dan pemikir mengatakan “inilah sepanjang penelitian saya yang benar”, maka akan terjadi kemandekan satu pemikiran karena pendapat atau pemikirannya itu adalah sudah benar dan sempurna. Apabila ulama dan pemikir berpendapat demikian maka akan terjadi kemandekan pemikiran terhadap agama karena mereka sudah mengambil sebuah kesimpulan demikian. Tradisi ilmiah tidak berakhir dengan kepastian dan mendakwahkan diri sebagai penemu kebenaran.

Ali Syari’ati seorang sarjana Iran, menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan kejumudan atau stagnasi dalam pemikiran, peradaban dan kebudayaan yang berlangsung hingga seribu tahun di Eropa pada abad pertengahan adalah metode pemikiran analogi Aristoteles. Di kala cara melihat masalah obyek itu berubah, maka sains, masyarakat dan dunia juga berubah dan segala akibatnya kehidupan manusia juga berubah. [15] Dengan demikian kita dapat memahami akan pentingnya metodologi sebagai faktor fundamental dalam renaisans. Tradisi ilmiah hanya berusaha menemukan apa yang dianggap benar.

Karena bertolak dari keinginan untuk mengetahui dan memahami esensi agama, maka salah satu disiplin ilmu yang paling banyak berkecimpung dalam penelitian agama sebagai satu doktrin ini adalah perbandingan agama. Pengetahuan yang mendalam tentang esensi ajaran agama ini akan mampu meningkatkan pengalaman agama bagi seseorang sehingga pada akhirnya seseorang akan mampu menemukan makna agama bagi manusia itu sendiri. Ilmu perbandingan agama di sisi lain akan juga mampu menciptakan satu tatanan masyarakat agamis yang satu agama dengan agama yang lainnya dapat saling menghormati. Sehingga pada akhirnya kerukunan antar umat beragama dapat terwujud dengan sebaik-baiknya. Makna kerukunan tidak lagi sebatas pada tataran struktural ideologis yang bersifat eksklusif. Dalam penelitian agama sebagai doktrin, studi yang banyak dilakukan adalah bercorak sejarah intelektual atau sejarah pemikiran dan biografi tokoh agama. Teks-teks keagamaan baik yang wahyu maupun hasil ijtihad, tradisi serta catatan sejarah merupakan bahan-bahan utama yang digali. Maka di samping filologi dan kritik teks serta ilmu filsafat maka sejarah merupakan disiplin yang memiliki peranan yang sangat penting.

Kategori kedua, adalah struktur dan dinamika masyarakat agama. Agama kata seorang ahli adalah landasan dari terbentuknya suatu “komunitas kognitif”.[16] Artinya agama merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan hidup dan kebenaran hakiki yang sama yang memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama pula. Hanya dalam komunitas kognitif Islam bahwa Tuhan mutlak satu merupakan pengetahuan yang benar. Tri murti hanya riil di kalangan Hindu, sedangkan kesatuan roh kudus, Jesus dan Tuhan bapa adalah benar di masyarakat Kristen dan seterusnya.

Meskipun berangkat dari suatu ikatan spiritual para pemeluk agama membentuk masyarakat sendiri yang berbeda dengan kelompok lain. Sebagai satu masyarakat komunitas ini pun memiliki tatanan yang berstruktur dan tidak pula terlepas dari dinamika sejarah. Sebagai contoh penelitian kedua ini adalah terjadinya pengelompokan Islam Santri, Priyayi dan Abangan. Ketiga kelompok komunitas muslim ini memiliki corak dan karakteristik yang berbeda. Corak kajian atau penelitian dalam kategori ke dua ini dihuni oleh disiplin-disiplin ilmu sosial – sosiologi, antropologi, sejarah dan lainnya.

Kategori ketiga, berusaha mengungkap sikap anggota masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Jika kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran agama yang dianutnya dengan segala refleksi pemikiran terhadap ajaran, sedangkan kategori kedua meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah, maka kategori ketiga adalah berusaha untuk mengetahui simbol-simbol dan ajaran agama. Salah satu pernyataan yang sering kita dengar adalah “meskipun tidak shalat dan berpuasa, tetapi jika Islam dihinakan suku bangsa ini akan tampil bergerak untuk membela Islam” artinya meskipun dimensi ritual masyarakat ini rendah namun dimensi keterikatan terhadap sebuah agama sangatlah kuat. Tentu ini hanyalah stereotype saja, tetapi dengan ini kita dapat mengetahui bahwa keterikatan seseorang terhadap agama antara yang satu dengan lainnya adalah tidak sama. Dalam pengertian tidak semua aspek atau dimensi agama mengikat pemeluknya dan tidak sama pula dalam keterikatan dalam beragama.

Sebagai contoh, si A lebih shaleh dibandingkan dengan si B. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan, apakah yang menyebabkan sikap keberagamaan yang berbeda? Apakah faktor pendidikannya, lingkungannya, status sosialnya ataukah ada faktor yang lainnya? Jadi kategori ketiga ini adalah masalah yang bersifat corak dan tingkatan keberagamaan. Meskipun ilmu-ilmu sosial yang bercorak kualitatif tidak terlalu sulit untuk memperlihatkan hal-hal yang berkaitan dengan keberagamaan ini. Dari kesemua corak pemahaman agama tersebut nampak bahwa penelitian agama merupakan bagian dari penelitian sosial, sebagaimana yang dipahami oleh A. Mukti Ali.

G. KESIMPULAN

Akhirnya dari berbagai pendapat dan kajian yang mendalam tentang memahami pendapat Mukti Ali menyangkut teori dasar penelitian agama di Indonesia, dapat kita simpulkan secara yakin bahwa penelitian agama merupakan bagian dari kajian yang di bahas dalam ilmu sosial. Hal ini didukung dengan adanya kerja sama antar peneliti menyangkut metodologi dan juga berbagai hasil penelitian yang terpublish, tidak bisa terlepas kepada teori-teori dan cara berpikir dalam ilmu sosial, hal yang sama juga ketika para pengkaji ilmu sosial menelaah ilmu agama. Itu terbukti sesuai dengan apa yang sebelumnya dikhawatirkan dan dipikirkan oleh Mukti Ali sampai akhirnya metodologi penelitian agama semakin kompleks dan semakin digandrungi oleh para akademisi dan peneliti setelah diketahui akar dasarnya bahwa agama sebagai refleksi atas iman tidak hanya terbatas pada kepercayaan saja, melainkan juga merefleksikan sejauh mana kepercayaan itu diungkapkan dalam dunia yang objeknya adalah perilaku manusia, dan itu bisa diuraikan bilamana ilmu agama dan ilmu sosial saling berintegrasi dan terkoneksi satu sama lain.

Bisa kita ambil contoh dalam bidang hukum keluarga, membahas tentang pernikahan, bahasan tentang hal tersebut sudah barang tentu tidak terlepas kepada pembicaraan soal praktek atau tradisi pernikahan, tata cara nikah, dan lain sebagainya walau kita pun juga membahas soal hukumnya. Perihal hukum pun muncul karena masyarakat perlu akan kedudukan hukum (halal, haram, mubah dan sebagainya) sehingga ketika terbentuknya produk hukum (taklif) biasanya terjadi karena dorongan atas keperluan akan kepastian hukum dan hal tersebut tidak lain lahir dari masyarakat sendiri selaku pelaksana hukum (mukallaf).

Gambaran tentang penelitian agama di Indonesia sejauh ini lebih mengacu kepada penelitian seputar studi Islam, ini menjadi bahan koreksian menurut penulis sebab bila kita menggunakan istilah penelitian agama sebagai sebuah ilmu maka hendaknya para pengkaji mengoreksi arah dan tata cara berpikir, bila bidang keilmuan ini ingin berkembang seperti bidang ilmu-ilmu lain dan masih banyak yang perlu dikaji ulang secara sistematis sebab sebagai bagian dari penelitian sosial sepatutnya refleksi keagamaan yang ditawarkan oleh A. Mukti Ali menjadi fokus penelitian agama. Maka semestinya hasilnya pun tidak hanya spekulasi teoritis melainkan argumentatif dan efektif dalam menyelesaikan permasalahan sosial yang krusial.

Penelitian agama di Indonesia sejauh ini mengalami perkembangan, baik dalam bidang kajian maupun terma-terma yang digunakan dalam bahasan keilmuan. Dalam bidang perencanaan pembangunan, pengaruh agama biasanya terkandung dalam filosofis sebuah aturan sebagai bentuk nilai yang luhur, sehingga acuan dalam pembentukan sebuah aturan biasanya tidak dapat terlepas dari nilai-nilai berupa ajaran-ajaran yang terkandung dalam sebuah agama. Bisa kita ambil contoh lahirnya pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang pernikahan, di situ tercantum bahwa pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Yudian Wahyudi dalam bukunya Ushul Fiqh versus Hermeneutika memberikan contoh tentang perlindungan berkendara dengan mewajibkan penggunaan helm ketika menggunakan kendaraan bermotor dalam Undang-undang lalu lintas, beliau menyatakan bahwa kewajiban tersebut merupakan perwujudan atau pemaknaan nila dari salah satu poin maqashid asy-syari’ah yaitu hifzh an-nafs. Dan masih banyak contoh lainnya.

Wajar bilamana ketika kita meneliti agama di Indonesia biasanya Islam lebih condong dan lebih banyak yang berminat untuk mengkajinya. Sebab mayoritas dan pengaruh Islam terhadap budaya lebih dominan ketimbang pengaruh agama-agama lain di negeri ini, walau tidak secara menyeluruh. Berbagai pendekatan digunakan, baik sejarah, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya untuk mengupas Islam sebagai sebuah kajian agama. Sebagian tulisan yang membahas soal agama yang pernah penulis temukan memang terdapat pengaruh agama selain Islam seperti Hindu dan Budha sebelum Islam masuk ke Indonesia. Seperti penelitian tentang pengaruh Hindu dan Budha dalam bangunan-bangunan masjid di daerah-daerah dan pengaruhnya pula dalam praktek keagamaan serta masih banyak lainnya. Hal itu semua merupakan ragam pembahasan dalam penelitian agama di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Metodologi Penelitian Agama; Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006.

Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim (ed), Metodologi Penelitian Agama; Suatu Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.

Ali, M. Sayuthi, Metodologi Penelitian Agama; Pendekatan Teori dan Praktek, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

Aliade, Mircea, dkk, Metodologi Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Departemen Agama, Almanak Badan Litbang Agama, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1984/1985.

Herdiana, Shinta, Model Penelitian Agama, artikel diakses pada tanggal 30 September 2015 dari www.slideshare.net/shintaariherdiana/model-penelitian-agama?from_action=save

Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam; Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Sumardi, Mulyanto, Penelitian Agama; Masalah dan Pemikiran, Jakarta: Sinar Harapan, 1982.

Suprayogo, Imam dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.

Syari’ati, Ali, Tentang Sosiologi Islam, (terj.) S. Mahyuddin, dari judul asli “The Sociology of Islam”. Yogyakarta: Ananda, 1982.

Wahyudi, Yudian, Ushul Fikih versus Hermeneutika; Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, Yogyakarta: Nawesea, 2010.

[1] Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h. xii.

[2] Departemen Agama, Almanak Badan Litbang Agama, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1984/1985) h. 3.

[3] Departemen Agama, Almanak Badan Litbang Agama, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1984/1985) h. 3.

[4] Departemen Agama, Almanak Badan Litbang Agama, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1984/1985) h. 3-4.

[5] Departemen Agama, Almanak Badan Litbang Agama, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1984/1985) h. 13 dan 106.

[6] Departemen Agama, Almanak Badan Litbang Agama, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1984/1985) h. 107-108.

[7] Meskipun dikatakan bahwa manfaat yang didapat dalam penelitian agama yang dikorelasikan dengan jenis penelitian lapangan (sosial) menjadikan prakteknya lebih mudah untuk mengolah dan menyajikan data secara lebih cermat, tajam dan mendalam. Hal ini sesuai dengan penjabaran Mukti Ali yang melihat gejala-gejala atas kecenderungan ahli ilmu sosial untuk memahami agama dan ahli ilmu agama untuk mengetahui pelbagai macam ilmu sosial. Kesemua itu merupakan kerja sama yang dinamis dengan menjalin hubungan antar dua bidang ilmu yang berbeda dalam dunia ilmu pengetahuan di Indonesia. Lihat Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama; Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), h. 20-21; Departemen Agama, Almanak Badan Litbang Agama, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1984/1985) h. 108.

[8] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama; Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), h. 24-25.

[9] Kejadian ini mungkin bisa dikatakan sama, ketika muncul istilah Islam Nusantara di tahun 2015 yang gencar diwacanakan oleh salah satu ormas Islam di Indonesia untuk mengistilahkan Islam yang ramah terhadap budaya Indonesia.

[10] Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed), Metodologi Penelitian Agama; Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), h. 35-48.

[11] Walau sebenarnya penulis masih merasa bingung apa yang menjadi penyebab lahirnya penelitian agama, apakah penelitian agama yang dimaksud adalah secara general? Atau diperuntukkan hanya dalam kajian studi Islam seperti yang selama ini dikaji oleh banyak kalangan akademik. Sebab bisa saja seperti penggunaan nomenklatur pada salah satu lembaga peradilan semisal pengadilan agama yang hanya mengadili kasus-kasus masyarakat yang beragama Islam. Menjadi dilematis bagi penulis, sebab bila membahas soal agama kita tahu tidak hanya Islam agama yang ada di Indonesia maupun di dunia. Apalagi di indukan menjadi penelitian agama, sehingga bisa dipahami secara singkat bahwa penelitian agama mengkaji tentang berbagai macam agama ataukah diperuntukkan dalam kajian Islamic studies saja.

[12] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama; Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), h. 22.

[13] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama; Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), h. 23.

[14] Mircea Aliade, dkk, Metodologi Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 1-2.

[15] Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, (terj.) S. Mahyuddin, dari judul asli “The Sociology of Islam” (Yogyakarta: Ananda, 1982) h. 39.

[16] Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, (terj.) S. Mahyuddin, dari judul asli “The Sociology of Islam” (Yogyakarta: Ananda, 1982) h. xiv.

By rahmatyudistiawan

Pelaksanaan Putusan di Lingkungan Peradilan Agama oleh Rahmat Yudistiawan

BAB I

PENDAHULUAN

 

Peradilan Agama merupakan salah satu wadah bagi umat Islam pencari keadilan dalam merealisasikan rasa keadilan, norma serta nilai keislaman sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Disinilah peran Qadhi atau hakim agama dalam menegakkan keadilan dan memberantas kezhaliman yang ada. Di Indonesia, dalam merealisasikan dan melaksakan perintah tersebut ada tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku, mulai dari jenis perkara yang disidangkan sesuai sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang nomor 3 Tahun 2006 tentang kewenangan absolut Peradilan Agama yang khusus menetapkan dan memutuskan perkara perdata masyarakat yang beragama Islam dan hal lainnya yang diatur dalam undang-undang. Dari jenis perkara tersebut diakhir sidang hakim akan memutus perkara sesuai dengan jenis perkaranya yang kelak hasilnya disebut dengan putusan atau penetapan.

Putusan merupakan hasil akhir dari sengketa. Putusan secara pengertian umum merupakan pernyataan hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan hakim di depan pesidangan.[1] Adapun produk hakim di Peradilan Agama yang dalam hal ini menjadi pembahasan kita, dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 2 macam berdasarkan pasal 60 Undang-undang Nomor 5 tahun 2009, yaitu putusan dan penetapan. Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam persidang atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa. Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam persidang atas perkara permohonan.[2]

Dari produk itulah yang selanjutnya menjadi pegangan dari para pihak yang dimenangkan untuk dapat melaksanakan tahap selanjutnya berupa pelaksanaan putusan atau eksekusi. Oleh karena itu, keberhasilan seseorang pencari keadilan untuk memulihkan, mengembalikan, ataupun memperoleh hak-haknya kembali masih menunggu dilaksanakannya putusan hakim tersebut oleh pihak lawan. Hal ini akan dapat diwujudkan melalui eksekusi putusan hakim oleh aparat hukum di pengadilan agama. Dari gambaran di atas, sebagai subjek hukum yang melaksanakan aturan hukum, perlulah kita mengetahui apa yang dimaksud dengan eksekusi putusan, apa saja jenis-jenis pelaksanaan putusan yang diatur dan putusan apa saja yang dapat dieksekusi. Disinilah penulis akan berusaha menyampaikan salah satu hal penting dalam beracara di peradilan agama yang bertemakan “Pelaksanaan Putusan”.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    PELAKSANAAN PUTUSAN PERADILAN AGAMA

Menurut Subekti yang dimaksud dengan pelaksanaan putusan atau eksekusi adalah pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi, hal itu ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi di dalam makna perkataan eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau harus mentaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum. Yang dimaksud dengan kekuatan umum adalah polisi bahkan kalau perlu militer (angkatan bersenjata).[3]

Dalam bukunya Abdul Manan yang berjudul Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama disebutkan pelaksanaan putusan peradilan atau eksekusi adalah hal menjalankan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Pelaksanaan putusan ini merupakan tujuan akhir dalam sebuah sengketa. Putusan yang dijalankan oleh pengadilan adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Setiap putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak dapat di ganggu gugat.[4]

Tujuan akhir pencari keadilan ialah agar segala hak-haknya yang dirugika oleh pihak lain dapat dipulihkan melalu putusan hakim. Hal ini dapat tercapai jika putusan hakim dapat dilaksanakan. Pelaksanaan putusan atau eksekusi adalah realisasi dari kewajiban para pihak untuk memenuhi prestasi yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut. Oleh karenanta, pelaksanaan putusan hakim dapat dilakukan:

  1. Secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa,
  2. Secara paksa dengan menggunakan alat negara, apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela.

Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, maka Pengadilan Agama telah dapat melaksanakan sendiri segala putusan yang dijatuhkannya sesuai dengan kewenangannya tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri.

B.     JENIS-JENIS PELAKSANAAN PUTUSAN

Menurut Sudikno Mertokusumo[5], ada 3 macam bentuk pelaksanaan putusan atau eksekusi, antara lain:[6]

1.      Eksekusi yang diatur dalam pasal 196 HIR dan pasal 208 Rbg dimana seorang dihukum untuk Membayar sejumlah uang.

Apabila seseorang enggan untuk dengan sukarela memenuhi bunyi putusan dimana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang, maka apabila sebelum putusan dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan, maka sita jaminan itu setelah dinyatakan sah dan berharga menjadi sita eksekutorial. Kemudian eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang milik orang yang dikalahkan, sehingga mencukupi jumlah yang harus dibayar menurut putusan hakim dan ditambah semua biaya sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut.

Apabila sebelumnya belum dilakukan sita jaminan, maka eksekusi dilanjutkan dengan menyita sekian banyak barang-barang bergerak, apabila tidak cukup juga barang-barang tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan sehingga cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar menurut putusan beserta biaya-biaya pelaksanaan putusan tersebut. Penyitaan yang dilakukan ini disebut sita eksekutorial.

2.      Eksekusi yang diatur dalam pasal 225 HIR dan pasal 259 Rbg dimana seorang dihukum untuk Melaksanakan suatu perbuatan.

Pasal 225 HIR mengatur tentang beberapa hal mengadili perkara yang istimewa. Apabila sesorang dihukum untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu tetapi ia tidak mau melakukannya maka hakim tidak dapat memaksa terhukum untuk melakukan pekerjaan tersebut, akan tetapi hakim dapat menilai perbuatan tergugat dalam jumlah uang, lalu tergugat dihukum untuk membayar sejumlah  uang untuk mengganti pekerjaan yang harus dilakukannya berdasarkan putusan hakim terdahulu. Untuk menilai besarnya penggantian ini adalah wewenang Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan.

Dengan demikian maka dapatlah dianggap bahwa putusan hakim yang semula tidak berlaku lagi, atau dengan lain perkataan putusan yang semula ditarik kembali, dan Ketua Pengadilan Agama mengganti putusan tersebut dengan putusan lain. Perubahan putusan ini dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama yang memimpin eksekusi tersebut, jadi tidak didalam sidang terbuka.

3.      Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap, yang disebut eksekusi riil yang diatur dalam pasal 1033 Rv.

Yang dimaksudkan eksekusi riil dalam ketentuan pasal 1033 Rv. adalah dilaksanakan putusan yang memerintahkan pengosongan atas benda tidak bergerak. Dalam praktek di pengadilan, tergugat yang dihukum untuk mengosongkan benda tidak bergerak tersebut setelah terlebih dahulu ditegur, untuk mengosongkan dan menyerahkan benda tidak bergerak tersebut kepada penggugat selaku pihak yang dimenangkan.[7]

Sementara dalam bukunya Sulaikin Lubis dkk. menambahkan satu lagi bentuk eksekusi yaitu Eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang yang terdapat dalam pasal 200 ayat 1 HIR, pasal 218 ayat 2 R.Bg.[8] Mengenai cara melakukan penjualan barang-barang yang disita dalam hal pelaksanaan eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang, isi ketentuan pokoknya antara lain:

  1. Penjualan dilakukan dengan pertolongan Kantor Lelang;
  2. Urutan-urutan barang yang akan dilelang ditunjuk oleh yang terkena lelang jika ia mau;
  3. Jika jumlah yang harus dibayar menurut putusan dan biaya pelaksanaan putusan dianggap telah tercapai, maka pelelangan segera dihentikan. Baran-barang selebihnya segera dikembalikan kepada yang terkena lelang;
  4. Sebelum pelelangan, terlebih dahulu harus diumumkan menurut kebiasaan setempat dan baru dapat dilaksanakan 8 hari setelah penyitaan;
  5. Jika yang dilelang terasuk benda yang tidak bergerak maka harus diumumkan dalam dua kali dengan selang waktu 15 hari;
  6. Jika yang dilelang menyangkut benda tidak bergerak lebih dari Rp.1000.- harus diumumkan satu kali dalam surat kabar yang terbit di kota itu paling lambat 14 hari sebelum pelelangan;
  7. Jika harga lelang telah dibayar, kepada pembeli diberikan kwitansi tanda lunas dan selain itu pula hak atas barang tidak bergerak tersebut beralih kepada pembeli;
  8. Orang yang terkena lelang dan keluarganya serta sanak saudaranya harus menyerahkan barang tidak bergerak itu secara kosong kepada pembeli.

 C.    PUTUSAN YANG DAPAT DIEKSEKUSI

Di dalam dunia peradilan, putusan yang dapat dieksekusi ada beberapa jenis atau syarat-syarat pelaksanaannya, yaitu:

1.      Putusan yang telah berkekuatan Hukum Tetap.

Tindakan eksekusi biasanya baru menjadi suatu masalah apabila pihak yang kalah ialah pihak Tergugat, dalam tahap eksekusi kedudukannya menjadi pihak tereksekusi. Sedang bila pihak Penggugat yang kalah dalam perkara pada lazimnya, bahkan menurut logika tidak ada putusan yang perlu dieksekusi. Hal ini sesuai dengan sifat sengketa dan status para pihak dalam suatu perkara. Pihak penggugat bertindak selaku pihak yang meminta kepada pengadilan agar pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan suatu barang, mengosongkan rumah atau sebidang tanah, melakukan sesuatu, menghentikan sesuatu atau membayar sejumlah uang. Salah satu hukuman seperti itulah yang selalu terdapat dalam putusan, apabila gugatan penggugat dikabulkan oleh pengadilan dan harus dipenuhi dan ditaati pihak tergugat sebagai pihak yang kalah. Oleh karena itu bila kita berbicara mengenai eksekusi putusan adalah tindakan yang perlu dilakukan untuk memenuhi tuntutan penggugat kepada tergugat.

Tidak terhadap semua putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum eksekutorial, artinya tidak terhadap semua putusan pengadilan dapat dieksekusi. Putusan yang belum dapat dieksekusi adalah putusan yang belum dapat dijalankan. Pada prinsipnya hanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang dapat dijalankan.

Pada dasarnya putusan yang dapat dieksekusi adalah Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara. Hal ini disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti yaitu, hubungan hukum itu mesti ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum (Pihak tergugat) baik secara sukarela maupun secara paksa dengan bantuan kekuatan umum.[9]

Dari keterangan diatas dapat dikatakan bahwa, selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi. Eksekusi baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan pihak tergugat (yang kalah), tidak mau mentaati dan memenuhi putusan secara sukarela.

Pengecualian terhadap jenis putusan ini dimana eksekusi tetap dapat dilaksanakan walaupun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap berdasarkan Undang-undang adalah:

a. Pelaksanaan Putusan Serta Merta, Putusan Yang Dapat Dilaksanakan Lebih Dahulu (vitvoerbaar by vooraad)

Menurut Pasal 180, ayat (1) HIR, eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap putusan pengadilan sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Pasal ini memberi hak kepada Penggugat untuk mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan eksekusinya lebih dahulu, sekalipun terhadap putusan itu pihak tergugat mengajukan banding atau kasasi.

b. Pelaksanaan Putusan Provisional

Pasal 180 ayat (1) HIR juga mengenal putusan provisi yaitu tuntutan lebih dahulu yang bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara. Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka putusan provisi tersebut dapat dilaksanakan (dieksekusi) sekalipun perkara pokoknya belum diputus (mendahului).

c. Akta Perdamaian.

Pengecualian ini diatur dalam pasal 130 HIR akta perdamaian yang dibuat dipersidangan oleh hakim dapat dijalankan eksekusi tak ubahnya seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Maka sejak tanggal lahirnya akta perdamaian telah melekat pulalah kekuatan eksekutorial pada dirinya walaupun ia tidak merupakan putusan pengadilan yang memutus sengketa.

d. Eksekusi terhadap Grosse Akta

Sesuai Pasal 224 HIR eksekusi yang dijalankan ialah memenuhi isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Pasal ini memperbolehkan eksekusi terhadap perjanjian, asal perjanjian itu berbentuk grosse akta. Jadi perjanjian dengan bentuk grosse akta telah dilekati oleh kekuatan eksekutorial.[10]

2.      Putusan  Tidak dijalankan secara Sukarela

Putusan yang dimaksud adalah dikarenakan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh ketua Pengadilan Agama. Ada dua cara menjalankan isi putusan, yaitu:

1. Secara Sukarela

Pihak yang kalah (tergugat) memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan. Tergugat tanpa paksaan dari pihak manapun, menjalankan pemenuhan hubungan hukum yang dijatuhkan kepadanya. Oleh karena pihak tergugat dengan sukarela memenuhi isi putusan kepada penggugat, berarti isi putusan telah selesai dilaksanakan maka tidak diperlukan lagi tindakan paksa kepadanya (eksekusi).

Untuk menjamin pelaksanaan isi putusan secara sukarela maka hendaknya pengadilan membuat berita acara pemenuhan putusan secara sukarela dengan disaksikan dua orang saksi yang dilaksanakan ditempat putusan tersebut dipenuhi dan   ditandatangani oleh jurusita pengadilan, dua orang saksi dan para pihak sendiri (Penggugat dan Tergugat). Maksudnya agar kelak ada pembuktian yang dapat dijadikan pegangan oleh hakim. Keuntungan menjalankan amar putusan secara sukarela adalah terhindar dari pembebanan biaya eksekusi dan kerugian moral.

2. Menjalankan Putusan dengan jalan Eksekusi

Terjadi bila pihak yang kalah tidak mau menjalankan amar putusan secara sukarela, sehingga diperlukan tindakan paksa yang disebut eksekusi agar pihak yang kalah dalam hal ini tergugat mau menjalankan isi putusan pengadilan.

Pengadilan dapat mengutus jurusita Pengadilan untuk melakukan eksekusi bahkan bila diperlukan dapat dimintakan bantuan kekuatan umum. Kerugian yang harus ditanggung oleh tergugat adalah harus membayar biaya eksekusi yang untuk saat ini relatif mahal, disamping itu dia juga harus menanggung beban moral yang tidak sedikit.

3.      Putusan yang dapat dieksekusi bersifat Kondemnator

Maksud putusan yang bersifat kondemnator adalah putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur “Penghukuman”, sedang putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman tidak dapat dieksekusi (Non-eksekutabel).

Menurut sifatnya amar atau diktum putusan dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu:

a)     Putusan Condemnator, yaitu yang amar putusannya berbunyi “Menghukum dan seterusnya”;

b)     Putusan Declarator, yaitu yang amar putusannya menyatakan suatu keadaan sebagai sesuatu keadaan yang sah menurut hukum, dan

c)     Putusan yang Konstitutif, yaitu yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru.[11]

4.      Eksekusi  atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama

Asas ini diatur dalam pasal 195 ayat(1) HIR yaitu jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh  satu Pengadilan Agama, maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan. Eksekusi secara nyata dilakukan oleh Panitera atau jurusita berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Agama yang dituangkan dalam bentuk surat penetapan. Tanpa surat penetapan syarat formal eksekusi belum mamadai. Perintah eksekusi menurut Pasal 197 ayat (1) HIR mesti dengan surat penetapan, tidak diperkenankan secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif. Bentuk ini sangat sesuai dengan tujuan penegakan dan kepastian hukum serta pertanggungjawabannya. Karena dengan adanya surat penetapan maka akan tampak jelas dan terinci batas-batas eksekusi yang akan dijalankan oleh jurusita dan panitera, disamping hakim akan mudah melakukan pengawasan terhadap eksekusi tersebut.[12]

 

BAB III

KESIMPULAN

 

Dari uraian di atas dapatlah kita ambil sekelumit kesimpulan dalam penjelasan tentang pelaksanaan putusan. Pelaksanaan putusan atau yang dapat disebut juga dengan eksekusi merupakan akhir dari suatu perkara yang merupakan hasil daripada apa yang dituntut oleh penggugat yang merasa ia dirugikan atau orang yang merasa haknya diperkosa oleh orang lain yang diputuskan melalui perangkat Negara dalam hal ini yaitu pengadilan.

Pelaksanaan putusan itu terjadi karena perintah dan dibawah pimpinan ketua pengadilan yang dulu memeriksa dan memutus perkaranya dalam tingkat yang pertama. Apabila pelaksanaan itu seluruhnya atau sebagian harus dilakukan diluar wilayah hukum pengadilan tersebut, maka ketua pengadilan tersebut meminta perantara dan bantuan ketua pengadilan di wilayah yang bersangkutan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Lubis, Sulaikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008.

Muljono, Wahju, Teori dan Praktik Peradilan Perdata Di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Amandemen Undang-undang Peradilan Agama (UU RI No. 3 Th. 2006), Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Subekti, Hukum Acara Perdata, Bandung: Binacipta, 1989.

Harahap, M. Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: PT. Gramedia 1991.

Rudini Silaban, Pelaksanaan Putusan Hakim (Eksekusi), artikel diposkan pada tanggal 29 September 2009 dari http://rudini76ban.wordpress.com/2009/09/29/%E2%80%9Cpelaksanaan-putusan-hakim-eksekusi%E2%80%9D/

Mansari Kaisar Sigli, Pelaksanaan Putusan Peradilan, artikel diposkan pada tanggal 03 Oktober 2011 dari http://mansaripayalinteung.blogspot.com/2011/10/pelaksanaan-putusan-peradilan.html


[1] Dr. Wahju Muljono, SH., Kn., Teori dan Praktik Peradilan Perdata Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia) hlm. 137.

[2] Amandemen Undang-undang Peradilan Agama (UU. RI No. 3 Th. 2006) dan UU. RI No. 50 Th. 2009 Perubahan Kedua atas UU No. 7 th. 1989.

[3] Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Acara Perdata, cet. 3, (Bandung; Binacipta, 1989) hlm.130.

[4] Mansari Kaisar Sigli, Pelaksanaan Putusan Peradilan, artikel diposkan pada tanggal 03 Oktober 2011 dari http://mansaripayalinteung.blogspot.com/2011/10/pelaksanaan-putusan-peradilan.html

[5] Yang dikutip oleh Dr. Abdul manan SH,SIP, M.Hum dalam bukunya “Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama”

[6] Ibid.

[7] Rudini Silaban, Pelaksanaan Putusan Hakim (Eksekusi), artikel diposkan pada tanggal 29 September 2009 dari http://rudini76ban.wordpress.com/2009/09/29/%E2%80%9Cpelaksanaan-putusan-hakim-eksekusi%E2%80%9D/

[8] Hj. Sulaikin Lubis, SH., MH., et al., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, cet. 3, (Jakarta; Kencana, 2008) hlm.175.

[9] M. Yahya Harahap, SH., Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet.3, (Jakarta:PT. Gramedia,1991), hlm. 6.

[10] Ibid, hlm. 7-9.

[11] Prof. R.Subekti SH., Op.cit, hlm. 127.

[12] M. Yahya Harahap, SH..Op.Cit., hlm. 18.

By rahmatyudistiawan

Putusan Peradilan Agama oleh Rahmat Yudistiawan

BAB I

PENDAHULUAN

 

Putusan secara pengertian umum merupakan pernyataan hakim dalam sidang pengadilan yang dapat berupa pemidanaan, putusan bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum. Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 macam yaitu putusan, penetapan, dan akta perdamaian. Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair). Sedangkan akta perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.

Adapun yang kita pelajari untuk saat ini berdasarkan UU No. 7 Tahun 1989 adalah ruang lingkup Peradilan Agama. Oleh karenanya, Pada bagian ini akan dibahas hal-hal yang berkenaan dengan putusan lingkungan Peradilan Agama. Pembahasan mengenai putusan Peradilan Agama bermaksud mempermasalahkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal 57, 60, 61, 62, 63, dan pasal 64 UU No. 7 Tahun 1989. Dengan demikian, permasalahan yang akan diuraikan meliputi persoalan bentuk keputusan Peradilan Agama, ikatan bathiniah hakim memutus perkara, putusan berdasarkan alasan yang cukup, autentikasi keputusan dan keputusan yang dapat dijalankan lebih dulu. Sistematika pembahasan disusun sedemikian rupa sehingga lebih sesuai dengan wawasan pengertian putusan.

Pembahasan tidak diurut menurut sistematika pasal-pasal yang diutarakan di atas, karena kurang tepat runtutan prosedur yang mengikuti tahap-tahap yang dilalui suatu putusan. Oleh karenanya, penulis menguraikannya berdasarkan tema dengan mamusakan landasan pasal tentangnya. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat dalam memberikan wawasan terkhusus bagi mahasiswa hukum yang sarat pelajaran tak jauh dari produk-produk hukum dan kehakiman.

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    BENTUK PUTUSAN PERADILAN AGAMA

Untuk mengetahui bentuk putusan Peradilan Agama dapat merujuk kepada ketentuan Pasal 57 ayat (2), Pasal 59 ayat (2), Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63 dan Pasal 64. Kemudian selain daripada pasal-pasal yang disebut di atas, masalah bentuk putusan Peradilan Agama ditegaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 60. Dari ketentuan-ketentuan inilah dapat diketahui bentuk produk keputusan yang dapat dijatuhkan Peradilan Agama, yang terdiri dari “penetapan” dan “putusan”.

  1. Bentuk “Penetapan”

Kapan suatu putusan Peradilan Agama disebut berbentuk penetapan ditegaskan dalam penjelasan Pasal 60. Menurut penjelasan ini yang disebut dengan penetapan adalah putusan pengadilan atas perkara “permohonan”. Jadi, bentuk putusan penetapan berkaitan erat dengan sifat atau corak gugat. Putusan penetapan menyesuaikan diri dengan sifatgugat permohonan. Gugat permohonan disederajatkan ekuivalensinya dengan penetapan. Dengan kata lain, undang-undang menilai putusan yang sesuai dengan gugat permohonan adalah penetapan, yang lazim juga disebut beschikking dalam arti luas.

Tentang apa dan bagaimana yang dimaksud dengan gugat yang bersifat permohonan, sudah dibahas waktu membicarakan masalah gugatan. Di situ sudah dijelaskan, gugat permohonan adalah gugat yang bersifat  volunteer dengan ciri dan berbagai asas yang melekat pada dirinya. Untuk sekedar mengulang  kembali ciri dan asas yang melekat pada gugat volunteet yang tiada laian dari pada gugat permohonan yang dimaksud dalam UU No. 7 tahun 1989, dapat dirirngkas sebagai berikut. Cirirnya merupakan gugat secara ”sepihak”. Pihaknya hanya terdirir dari pemohon. Tidak ada pihak lain  lain yang ditaraik sebagai tergugat. Sekali pun terkadang dalam permohonan ada dibawa-bawa nama orang lain, tidak ditujukan untuk menyelesaikan persengketaan. Tujuannya hanya untuk menetapkan suatu keadaan atau status tertentu bagi diri pemohon. Misalnya permohonan penetapan ahli waris. Tidak bermaksud menyelesaikan persengketaan keahliwarisan dan pembagian harta warisan dengan pihak ahli waris yang lain. Cuman sekedar menetapkan status pemohon sebagai ahli waris dari seorang pewaris tertentu. Ciri selanjutnya, petitum dan amar gugat permohonan bersifat declaratoir. Petitum yang diperbolehkan dalam gugat dan bersifat permohonan hanya bersifat declaratoir. Oleh karena itu amar yang dijatuhkan pun harus bersifat declaratoir.

Mengenai asas yang melekat pada putusan penetapan, pertama asas kebenaran yang melekat pada putusan hanya “kebenaran sepihak” kebenaran yang terkandung didalam penetapan hanya kebenaran yang bernilai diri pemohon. Kebenaranya tidak menjangkau orang lain. Dari asas ini lahirlah asas berikutnya, yakni kekuatan mengikat penetapan hanya berlaku pada diri pemohon. Sama sekali “tidak mengikat siapapun” kecuali hanya mengikat kepada diri pemohon saja. Dari kedua asas ini, lahirlah asas ketiga, yang menegaskan keputusan penetapan”tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian” kepada pihak manapun. Asas selanjutnya, putusan penetapan “tidak mempunyai kekuatan exsekutorial”. Amarnya saja hanya bersifat declaratoir, mana mungkin mempunyai nilai kekuatan eksekusi! Jadi disamping putusan penetapan hanya merupakan”kebenaran sepihak”, “tidak mengilat pada pihak lain”, “tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian”, juga “tidak mempunyai kekuatan eksekutorial”. Putusan penetapan dapat diminta eksekusi pada pengadilan.

Begitu analisa teoritis maupun dari segi pendekatan praktik tentang gugat yang bersifat permohonan yang disebut juga gugat volunteer , terutama dalam praktek di lingkungan peradilan umum. Sudah barang tentu demikian pula penerapan yang akan di lakukan dalam lingkungan peradilan agama dalam rangka penyesuaian diri dengan hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum. Kalau begitu, jika ditinjau dari segi teoritis dan pendekatan praktik, kita kurang setuju terhadap ketentuan pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989. Karena menurut pasal ini, sifat gugat cerai talak dinyatakan bersifat”permohonan” berarti, cerai talak menurut undang-undang ini bersifat sepihak atau exparte. Tidak bersifat contradicatoir atau tidak bersifat partai. Seolah-olah menempatkan istri sebagai objek, bukan sebagai subjek hukum. Terasa adanya diskriminasi kategoris dan diskriminasi normatif antara suami dan istri. Kenapa undang-undang ini tidak berani menetapkan proses beracara dalam gugat cerai talak bersifat contradictoir? Barangkali terlampau terpaut pada pemahaman ”fikih” yang telah menetapkan tindakan hukum talak hanya melekat pada diri suami. Seolah-olah undang-undang ini masih erat berpegang teguh pada ajaran klasik yang membenarkan hak suami untuk menalak istri menurut kemauan yang diingininya. Tetapi jikalau anggapan itu diuji ke dalam Pasal 66 dan Pasa! 69 jo. Pasal 82, jelas ada kontroversi. Gugatan dinyatakan bersifat volunter (permohonan), sehingga putusan yang dijatuhkan berbentuk ”penetapan” dengan sifat yang ”declaratoir”. Namun proses pemeriksaan disuruh bersifat contradictoir. Malahan pihak istri diberi hak mutlak untuk mengajukan upaya banding dan kasasi seperti yang dijelaskan pada Pasal 60 dan Pasal 63.

Sebenarnya, jika sudah berani menetapkan pemeriksaan cerai talak secara contradictoir, kenapa ragu-ragu untuk menetapkan sifat gugatan secara contentiosa. Dengan demikian di samping selangkah maju melakukan pembaruan hukum Islam yang dinamis, sekaligus terhapus bayangan diskriminasi kategoris dan diskriminasi normatif dalam permasalahan cerai talak.

Akan tetapi sudah demikian rupanya siasat yang cdlakukan pembuat undang-undang. Tanggung-tanggung dan bersikap ragu, dan ingin bersilat antara paham klasik dengan dinamika pembaruan, tapi dalam bentuk yang kontroversial. Seolah-olah hendak bersembunyi di balik sehelai daun lalang. Tidak secara jantan mengakui bahwa cerai talak mengandung ”sengketa” tetapi hanya mengandung kewenangan dan kesewenangan suami terhadap istri. Satu-satunya jalan yang dapat menghilangkan siasat tersebut, hanya para hakim yang berfungsi di lingkungan Peradilan Agama. Kepada mereka sangat dituntut suatu harapan, agar penerapan pemeriksaan perkara cerai talak jangan terjebak dari sudut pendekatan corak gugatannya yakni yang bersifat permohonan atau volunteer. Tetapi harus cenderung mendekati aturan proses pemeriksaan yang ditentukan undang-undang yakni bersifat contradictoir. Biarkan sajp sifat gugatannya permohonan atau volunteer. Biarkan saja produk bentuk putusannya ”penetapan”. Namun lakukan cara pemeriksaannya benar- benar bersifat contradictoir atau bersifat partai. Dengan cara pemeriksaan yang benar-benar memberi hak, kedudukan, kesempatan kepada istri dalam makna jangkauan yang berwawasan equal before the law, equal justice on the law dan equal protection under the law, pasti bayangan diskriminasi kategoris dan diskriminasi normatif yang menghantui perkara cerai talak akan lenyap ditelan praktik peradilan.

  1. Bentuk ”Putusan”

Bentuk keputusan Peradilan Agama yang lain ialah ”putusan”. Yang dimaksud dengan ؛ keputusan yang berbentuk putusart menurut penjelasan Pasal 60 adalah: “keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya sengketa”. Lazimnya gugat yang bersifat sengketa atau yang mengandung sengketa disebut gugat contentiosa. Dari gugat contentiosa menurut penjelasan Pasal 60, diproduksi penyelesaian atau settlement yang berbentuk ”putusan”.

Tentang permasalahan gugat contentiosa sudah dibicarakan secara ringkas pada waktu menguraikan hal-hal yang berkenaan dengan gugatan. Oleh karena itu, uraian mengenai keputusan yang berbentuk putusan sekaligus meliputi apa yang telah diterangkan pada bagian tersebut. Seperti yang telah diuraikan pada bagian dimaksud, setiap gugat yang bersifat contentiosa pada prinsipnya akan mewujudkan putusan pengadilan yang bersifat condemnatoir dan berkekuatan ”eksekutorial”.

a. Bersifat Partai

Untuk lebih jelas memahami keputusan pengadilan yang berbentuk “putusan” yang bersifat condemnatoir dan “eksekutorial”, mari kita tinjau dengan singkat ciri dan asas yang melekat pada gugat contentiosa. Ciri utamanya, apa yang diperkarakan mengandung sengketa antara dua atau beberapa orang anggota masyarakat terjadi hubungan hukum timbal balik. Dari hubungan hukum yang timbal balik tersebut terjadi perselisihan oleh karena salah satu pihak tidak melaksanakan persetujuan atau melakukan perbuatan wanprestasi. Misalnya dalam hubungan jual beli. Pembeli ingkar melaksanakan pembayaran harga barang yang dibeli. Hubungan hukum suami istri dalam bentuk perkawinan, suami melanggar hak dan kewajiban, sehingga menimbulkan perselisihan dan pertengkaran. Dalam hubungan hukum warisan. Salah seorang ahli waris tidak memberi bagian ahli waris yang lain. Atau bisajuga karena tindakan perbuatan melawan hukum. Suami menganiaya istri. Seorang ahli waris merampas bagian ahli waris yang lain, dan sebagainya. Oleh karena gugat yang contentiosa mengandung sengketa, sudah barang tentu persengketaan tidak mungkin diselesaikan seeara sepihak. Penyelesaian setiap sengketa mesti melibatkan dua atau beberapa pihak.

Dengan kata lain setiap penyelesaian minimal mesti melibatkan dua pihak, yakni pihak-pihak yang bersengketa. Dari sinilah lahir asas yang menentukan setiap gugat yang bersifat gugatan contentiosa mesti ”bersifat partai”. Ada pihak penggugat dan ada pula pihak tergugat. Setiap perkara yang mengandung sengketa tidak bisa diselesaikan melalui gugat “volunter” atau permohonan. Ambil contoh sengketa perceraian. Tidak bisa diselesaikan dengan “volunter” Begitu pula sengketa pembagian harta wansan, tidak bisa “Volunter”. Salah satu yang merasa dirugikan haknya, harus menarik pihak lain sebagai tergugat.

b. Bersifat Contradictoir

Asas lain yang melekat pada perkara contentiosa, proses pemeriksaan mesti bersifat contradictoir. Maksudnya, tata cara pemeriksaan perkara dilakukan jawab-menjawab secara ”timbal balik”. Tergugat mesti panggil menghadiri “sidang pengadilan. Dalam sidang pemeriksaan, kepada pihak tergugat diberi hak bebas dan leluasa untuk membela hak dan kepentingannya atas gugatan penggugat. Kepada penggugat diberi pula hak untuk menanggapi pembelaan tergugat. Maka terjadilah dalam pemeriksaan persidangan suatu dialog langsung dalam bentuk ”replik” dan duplik. Di samping replik dan duplik, kepada penggugat ،libebani kewajiban untuk membuktikan dalil gugat. Sebaliknya kepada pihak tergugat diberi pula hak untuk mengajukan ”bukti lawan” atau tegen bewijs untuk melumpuhkan pembuktian penggugat. Kemudian kepada para pihak diberi hak untuk mengajukan ”konklusi” atau ”kesimpulan”.

Begitulah asas contradictoir yang melekat pada gugat contentiosa. Asas ini tidak boleh dilanggar sepanjang para pihak dengan patuh menaati panggilan menghadiri pemeriksaan sidang pengadilan. Lain halnya kalau pihak tergugat tidak mau menghadiri sidang pemeriksaan sekalipun sudah dipanggil secara patut dan resmi. Dalam hal yang seperti itu, undang-undang memberi pengecualian. Hakim dapat menyelesaikan perkara melalui proses verstek sesuai dengan ketentuan Pasal 125 HIR atau Pasal 149 RBG. Pemeriksaan dan putusan dapat dilakukan hakim tanpa hadirnya tergugat. Atau jika salah satu pihak tidak mau hadir mengikuti pemeriksaan selanjutnya sekalipun sudah resmi diberitahu tanggal pemunduran sidang yang akan datang, dan ketidakhadirannya tanpa alasan yang sah, pemeriksaan tetap dapat dilanjutkan hakim. Pemeriksaan yang seperti itu tetap dianggap bersifat contradictoir tanpa jawaban atau bantahan dari pihak yang tidak hadir. Hal itu tersirat dalam ketentuan Pasal 127 H1R atau Pasal 151 RBG. Dalam kasus yang seperti itu pemeriksaan perkara tidak perlu diundur. Dapat tetap dilanjutkan walaupun pihak lawan tidak hadir. Karena dalam hal yang seperti itu, pihak yang tidak hadir dianggap tidak sungguh-sungguh lagi membela kepentingannya dalam perkara yang bersangkutan. Dia dianggap sudah rela menerima apa saja yang dikemukakan pihak lawan.

c. Bersifat Condemnatoir

Oleh karena dalam perkara yang didasarkan pada gugat contentiosa bertujuan untuk menyelesaikan persengketaan, pihak penggugat dapat menuntut agar hakim ”menghukum” pihak tergugat. Pihak penggugat dapat menuntut putusan condemnatoir dalam petitum gugat, yakni meminta kepada hakim agar tergugat ”dihukum” menyerahkan, membongkar, mengosongkan, membagi, melakukan, atau tidak melakukan sesuatu atau untuk membayar sejumlah uang. Berdasar tuntutan petitum yang meminta penjatuhan hukuman terhadap tergugat, hakim dapat menjatuhkan putusan yang bersifat condemnatoir. Bentuk condemnatoimya, bisa menghukum dan memerintahkan tergugat untuk menyerahkan, membongkar, membagi, mengosongkan, melakukan, atau tidak melakukan atau pembayaran sejumlah uang. Condemnatoir yang dijatuhkan, sesuai dengan apa yang diminta penggugat dalam petitum.

Demikian prinsip yang terkandung dalam gugat contentiosa dapat diminta dan dijatuhkan putusan yang bersifat condemnatoir dalam salah satu amar putusan. Itu sebabnya dalam putusan perkara contentiosa dapat sekaligus digabung amar yang deklarator dengan condemnatoir. Sedang dalam gugat volunteer di samping tidak boleh mengajukan tuntutan atau petitum gugat yang condemnatoir, tidak mungkin sekaligus memuat amar yang declaratoir dan condemnatoir. Yang boleh hanya declaratoir saja. Lain halnya dalam perkara contentiosa, amar declarator bisa langsung dibarengi amar condemnatoir. Misalnya dalam sengketa pembagian harta warisan. Penggugat dapat menuntut agar dijatuhkan putusan yang bersifat declarator yang langsung dibarengi condemnatoir. Penggugat dapat menuntut agar dia dan para tergugat dinyatakan sebagai ahli waris. Tuntutan ini jelas bersifat declarator. Lantas tuntutan tersebut dibarengi dengan petitum untuk menghukum para tergugat menyerahkan dan mengosongkan serta membagi harta terperkara di antara penggugat dan para tergugat. Tuntutan ini jelas bersifat condemnatoir. Maka berdasar petitum tersebut hakim bisa mengabulkan sepanjang tuntutan declaratoir. Tetapi dapat pula langsung mengabulkan keduanya. Sehingga antara amar declaratoir berbareng bergabung dengan amar condemnatoir. Memang secara formal setiap amar condemnatoir harus didahului amar declaratoir. Secara formal amar condemnatoir tidak dapat berdiri sendiri. Dia baru dapat dijatuhkan jika didahului dengan amar declaratoir. Rasionya begini. Tidak mungkin menyatakan seseorang berhak atas harta warisan sebelum orang yang bersangkutan dan harta terperkara dinyatakan sebagai ahli waris dan harta warisan dari orang tuanya. Tidak mungkin menghukum orang lain untuk menyerahkan harta warisan tersebut kepada orang tadi sebelum dia dinyatakan sebagai orang yang berhak atasnya.

Tidak otomatis setiap perkara contentiosa bersifat condemnatoir. Ini perlu diingat. Juga tidak selamanya hakim mesti menjatuhkan amar condemnatoir pada setiap gugat contentiosa. Pada prinsipnya, amar condemnatoir baru dapat dijatuhkan hakim apabila hal itu diminta penggugat dalam petitum gugat. Kalau penggugat sendiri tidak menuntut putusan yang mengandung amar condemnatoir, bagaimana mungkin hakim Jika penggugat tidak mengajukan petitum gugat yang condemnatoir, lantas hakim dalam putusannya mencantumkan amar condemnatoir, berarti hakim telah”mengabulkan yang melebihi” dari yang digugat. cara mengadili yang demikian dengan asas ultra petitum partium. Dan hal itu dilarang oleh Pasal 178 ayat (3) HIR atau Pasal 189 ayat (3) RBG. Kalau begitu, putusan yang timbul dan gugat contentiosa ada kemungkinan hanya bersifat declaratoir, tak ubahnya seperti putusan dalam gugat volunter? Bisa saja! Kemungkinan pertama oleh karena penggugat sendiri tidak meminta. Petitum gugat sama sekali tidak ada menuntut amar condemnatoir. Kemungkinan kedua, apabila hakim mempertimbangkan tidak tepat menjatuhkan amar yang seperti itu.

d. Mengikat Kepada Para Pihak

Keputusan pengadilan yang berbentuk putusan, mengandung kebenaran hukum bagi para pihak yang berperkara. Apabila dari gugatan yang bersifat contentiosa telah dijatuhkan putusan oleh pengadilan, kemudian putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, putusan tersebut menjadi kebenaran hukum bagi pihak yang berperkara. Berbarengan dengan itu, putusan mengikat:

  • terhadap para pihak yang berperkara,
  • terhadap orang yang mendapat hak dari mereka, dan
  • terhadap ahli waris mereka,

Demikian jangkauan kekuatan mengikat putusan. Tidak menjadi soal apakah putusan tersebut bersifat declaratoir atau condemnatoir, dengan sendirinya menurut hukum putusan mempunyai daya kekuatan mengikat. Berbeda dengan putusan declaratoir yang lahir dari gugat volunteer. Daya kekuatan mengikatnya tidak ada, kecuali dalam penetapan cerai talak. Dalam penetapan cerai talak oleh karena pada hakikatnya tiada lain daripada gugat contentiosa yang bersifat semu, undang-undang melengketkan sifat kekuatan mengikat kepada suami istri. Namun secara umum penetapan yang lahir dari gugat volunter hanya mempunyai kekuatan kepada diri pemohon sendiri.

Oleh karena keputusan yang berbentuk putusan mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak, kepada orang yang mendapat hak dari mereka, para pihak mesti tunduk menaati putusan. Pihak yang satu dapat menuntut pemenuhan putusan kepada pihak yang lain. Keingkaran untuk memenuhi dan menaati, bisa menimbulkan akibat hukum.

e. Putusan Mempunyai Nilai Kekuatan Pembuktian

Hal lain yang tidak kurang pentingnya, ialah asas nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada putusan. Sejalan dengan sifat kekuatan mengikat yang melekat pada setiap putusan pengadilan, dengan sendirinya menurut hukum, melekat pula nilai kekuatan pembuktian yang menjangkau:

  • Para pihak yang berperkara,
  • Orang yang mendapat hak dari mereka, dan
  • Ahli waris mereka.

Maksudnya, kapan saja timbul sengketa di kemudian hari, dan sengketa perkaranya berkaitan langsung dengan apa yang telah tercantum dalam putusan, putusan tersebut dapat dipergunakan sebagai alat bukti untuk melumpuhkan gugatan pihak lawan. Nilai kekuatan

Pembuktian yang terkandung di dalamnya bersifat ”seumpuma” (volledig), ”mengikat” (bindede), dan ”memaksa” (dwingend). Bahkan dalam putusan tersebut melekat unsur ne bis in idem sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1917 KUH Perdata. Jadi, apabila kelak pihak lawan mengajukan gugatan mengenai pihak-pihak yang sama, objeknya sama serta dalil gugatnya sama dengan apa yang tercantum dalam putusan, di samping putusan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempuma, mengikat, dan memaksa (volledig, bifdende en dwingend bewijskracht), di dalam putusan juga telah terkandung unsur nebis in idem, yang mengakibatkan gugat dinyatakan tidak dapat diterima. Hal yang seperti itu antara lain dapat dilihat dalam putusan MA tanggai 3-10-1973, No. 588 K/Sip/1973. Putusan ini menyatakan kira-kira begini. Karena perkara yang digugat sama dengan perkara yang terdahulu baik mengenai dalil gugatan maupun objek dan subjek perkara, sedang putusan yang terdahulu tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, di dalamnya sudah terkandung unsur nebis in idem, dan gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Lain halnya dengan penetapan yang lahir dari gugatan permohonan atau volunter. Dalam keputusan yang berbentuk penetapan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian terhadap siapa pun. Juga, dalam penetapan tidak akan pernah terkandung asas nebis in idem. Sebagai salah satu contoh dapat dikemukakan putusan MA tanggai 27-6-1973, No. 144 K/Sip/1973. Pertimbangannya berbunyi: “Penetapan mengenai ahli waris dan warisan dalam penetapan Pengadilan Negeri Gresik tanggai 14 April 1956 No. 43/1955/Pdt dan dalam putusan Pengadilan Negeri Gresik tanggai 23 November 1965 No. 66/1962/Pdt, tidak merupakan nebis in idem, oleh karena penetapan No. 43/1955/Pdt tersebut hanya bersifat declaratoir sedang dalam perkara No. 66/1962/Pdt tersebut ada sengketa antara pihak-pihak yang berkepentingan ”. Dalam putusan tersebut terdapat penegasan, putusan yang bersifat declaratoir yang terwujud dari gugat volunteer, tidak mengandung nebis in idem.

f. Putusan Mempunyai Kekuatan Eksekutorial

Sifat atau asas lain yang terkandung dalam keputusan Pengadilan yang berbentuk putusan adalah kekuatan eksekutorial. Apabila dalam putusan tercantum amar yang bersifat condemnatoir, maka dalam putusan tersebut melekat kekuatan eksekutorial. Jika pihak yang kalah tidak mau menaati putusan secara sukarela, putusan dapat dijalankan dengan paksa berdasar ketentuan Pasal 195 HIR atau Pasal 206 RBG. Hal ini sesuai dengan asas yang telah dibicarakan bahwa keputusan pengadilan yang berbentuk putusan mengikat kepada para pihak. Di samping berkekuatan mengikat juga menuntut penaatan dan pemenuhan. Pihak yang dijatuhi hukuman mesti taat dan memenuhi bunyi putusan. Penaatan dan pemenuhan dapat dilakukan pihak yang dihukum dengan sukarela. Tetapi kalau dia tidak mau menaati dan memenuhi secara sukarela, pihak yang menang dapat menuntut pemenuhan secara paksa melalui Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

Sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, dan pihak yang kalah sudah anmanmg atau diperingati dalam tempo paling lama delapan hari, tidak juga memenuhi bunyi putusan, terwujudlah dalam putusan kekuatan eksekutorial (excecutorial kracht). Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan eksekusi kepada Ketua pengadilan. Dalam hal ini Ketua Pengadilan berwenang memerintahkan dan memimpin pelaksanaan putusan. Untuk itu dia mengeluarkan penetapan perintah eksekusi kepada juru sita, agar juru sita melakukan eksekusi sesuai dengan bunyi putusan.

Akan tetapi jika putusan tidak mengandung amar yang bersifat condemnatoir, dan amamya bersifat ”deklaratif’, dalam putusan tidak melekat kekuatan ”eksekutorial” Misalnya, terjadi sengketa antara suami-istri mengenai harta bersama. Ternyata putusan pengadilan hanya menyatakan harta terperkara adalah harta bersama antara suami dan istri. Tidak ada amar lain yang menghukum atau memerintahkan pembagian. Walaupun putusan tersebut lahir dari gugat contentiosa, tidak dapat dieksekusi. Amar putusan hanya bersifat deklaratif, dan amar deklaratif tadi,tidak dibarengi dengan amar condemnatoir, sehingga putusan tidak memiliki kekuatan “eksekutorial”untuk melengketkan daya kekuatan eksekutorial dalam kasus dimaksud, harus lagi diajukan gugat baru berupa permintaan pembagian. Jika tidak diajukan gugat baru, selamanya putusan tidak dapat dijalankan melalui eksekusi. Kecuali pihak yang kalah mau melaksanakan dengan sukarela, lain soalnya. Tetapi menurut pengalaman, mana ada pihak yang berperkara mau melaksanakan putusan dengan sukarela. Sedangkan putusan yang bersifat condemnatoir, jarang bersedia melaksanakan secara sukarela, konon pula kalau putusan bersifat declaratoir.

B.     PELAKSANAAN PUTUSAN

Di dalam dunia peradilan, ada beberapa jenis pelaksanaan putusan yaitu :

  1. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang
  2. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan
  3. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap
  4. Eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang

Selanjutnya, didalam mengeksekusi putusan pengadilan, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan antara lain :

  1. Putusan telah berkekuatan hukum tetap kecuali dalam hal:

1)      Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan  lebih dahulu,

2)      Pelaksanaan putusan provinsi,

3)      Pelaksanaan akta perdamaian, dan

4)      Pelaksanaan Grose Akta

  1. Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara suka rela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh ketua pengadilan agama
  2. Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir, sehingga dalam putusan diklaratoir dan konstitutif tidak diperlukan eksekusi
  3. Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama

Sedangkan yang berwenang melaksanakan eksekusi hanyalah pengadilan tingkat pertama, PTA tidak berwenang melaksanakaan eksekusi. Sedangkan tata cara sita eksekusi sebagai berikut :

1. Ada permohonan sita eksekusi dari pihak yang bersangkutan

2. Berdasarkan surat perintah Ketua Pengadilan Agama, surat perintah dikeluarkan apabila :

  • tergugat tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang sah
  • tergugat tidak mau memenuhi perintah dalam amar putusan selama masa peringatan

3. Dilaksanakan oleh panitera atau juru sita

4. Pelaksanaan sita eksekusi harus dibantu oleh dua orang saksi :

  • Keharusan adanya dua saksi merupakan syarat sah sita eksekusi
  • Dua orang saksi tersebut berfungsi sebagai pembantu sekaligus sebagai saksi sita eksekusi
  • Nama dan pekerjaan kedua saksi tersebut harus dicantumkan dalam berita acara sita eksekusi
  • Saksi-saksi tersebut harus memenuhi syarat :
  1. Telah berumur 21 tahun
  2. Berstatus penduduk Indonesia
  3. Memiliki sifat jujur

5. Sita eksekusi dilakukan di tempat obyek eksekusi

6. Membuat berita acara sita eksekusi yang memuat :

1)      Nama, pekerjaan dan tempat tinggal kedua saksi

2)      Merinci secara lengkap semua pekerjaan yang dilakukan

3)      Berita acara ditanda tangani pejabat pelaksana dan kedua saksi

4)      Pihak tersita dan juga kepala desa tidak diharuskan, menurut hukum, untuk ikut menanda tangani berita acara sita

5)      Isi berita acara sita harus diberi tahukan kepada pihak tersita, yaitu segera pada saat itu juga apabila ia hadir pada eks penyitaan tersebut, atau jika tidak hadir maka dalam waktu yang secepatnya segera diberitahukan dengan menyampaikan di tempat tinggalnya

7. Penjagaan yuridis barang yang disita diatur sebagai berikut :

1)      Penjagaan dan penguasaan barang sita eksekusi tetap berada di tangan tersita

2)      Pihak tersita tetap bebas memakai dan menikmatinya sampai pada saat dilakukan penjualan lelang

3)      Penempatan barang sita eksekusi tetap diletakkan di tempat mana barang itu disita, tanpa mengurangi kemungkinan memindahkannya ke tempat lain

4)      Penguasaan penjagaan tersebut harus disebutkan dalam berita acara sita

5)      Mengenai barang yang bisa habis dalam pemakaian, maka tidak boleh dipergunakan dan dinikmati oleh tersita

8. Ketidak hadiran tersita tidak menghalangi sita eksekusi.

Untuk lebih jelasnya mengenai pelaksanaan putusan di lingkungan Peradilan Agama, penulis akan membahas secara tersendiri dalam makalah yang lain dengan judul pelaksanaan atau eksekusi putusan Peradilan Agama.

BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian mengenai putusan dalam ruang lingkup Peradilan Agama, dapatlah kita ambil sekelumit kesimpulan tentangnya. Bahwa putusan dalam pengertian umum adalah pernyataan hakim dalam sidang pengadilan yang dapat berupa pemidanaan, putusan bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum. Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 macam yaitu putusan, penetapan, dan akta perdamaian. Adapun bentuk-bentuk putusan, dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara putusan hakim adalah sebagai berikut:

  1. Putusan Akhir
  2. Putusan Sela

Kemudian jika dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, putusan dibagi sebagai berikut :

  1. Putusan Gugur
  2. Putusan Verstek
  3. Putusan Kontradiktoir

Jika dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara, putusan hakim dibagi sebagai berikut:

  1. Putusan tidak menerima
  2. Putusan menolak gugatan penggugat
  3. Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya.
  4. Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya

Sedangkan jika dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan, maka putusan dibagi sebagai berikut :

  1. Putusan Diklatoir                                                  3.   Putusan Kondemnatoir
  2. Putusan Konstitutif

DAFTAR PUSTAKA

 

Fauzan, M., Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.

Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Lubis, Sulaikin, ET AL., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.

Note, Jogal’s, Pengertian dan Macam-macam Putusan, artikel diterbitkan pada tanggal 12 Oktober 2010 dari http://jojogaolsh.wordpress.com/2010/10/12/pengertian-dan-macam-macam-putusan/

By rahmatyudistiawan

Kontak

RAHMAT YUDISTIAWAN

E-mail: rahmatyudistiawan@yahoo.com

Facebook: http://www.facebook.com/Rahmat.yudiz

Twitter: @rahmatyudis

Pengurus Padepokan Syarhil Qur’an Lampung

S1 Jurusan Ahwal Syakhshiyyah (Konsentrasi Peradilan Agama), Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan/alumni tahun 2015

S2 Konsentrasi Hukum Keluarga Islam, Prodi Ilmu Syariah, Program Magister Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta angkatan/alumni tahun 2020

By rahmatyudistiawan

Hukum Perbankan Syari’ah di Indonesia oleh Rahmat Yudistiawan

BAB I

PENDAHULUAN

 

Ketidak berdayaan sistem ekonomi kapitalis, sosialis dan berbagai jenis sistem lainnya telah memberikan peluang bagi perkembangan ekonomi yang bernuansa Islam. Sistem ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang mandiri, bukan diadopsi dari ekonomi liberal, komunis, kapitalis dan sebagainya. Sistem ekonomi Islam sebagai kebijaksanaan alternatif dalam mencari jalan keluar dari kemelut ekonomi dewasa ini.[1]

Tidak lama sering kita dengar perihal Perbankan Syari’ah atau Bank Islam yang secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syari’ah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah”.

Gagasan awal perbankan Syari’ah adalah ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, atau nonribawi. Mula-mula pembentukan Bank Islam di Indonesia sendiri khususnya banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul mengingat anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim.

Namun demikian, ekonomi syari’ah, walaupun dapat dikembangkan oleh masyarkat sendiri, namun tetap membutuhkan legislasi, yang berarti formalisasi syariat Islam menjadi hukum positif, dengan demikian dibutuhkan juga perjuangan politik untuk menegakkan syariat Islam di bidang ekonomi, khususnya dalam bidang Perbankan.

Dalam makalah ini yang berjudul Hukum Perbankan Syari’ah di Indonesia, mengingat cakupannya amat luas, penulis berusaha memberikan penjelasan semaksimal mungkin materi yang secara singkat dan padat apa saja yang diperlukan untuk memahami gambaran tentang Perbankan Syariah dalam perspektif hukum di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

1.      PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM PERBANKAN SYARIAH

1.1  Pengertian Hukum Perbankan Syariah

Kata Hukum (al-hukm) secara bahasa bermakna menetapkan atau memutuskan sesuatu, sedangkan pengertian hukum secara terminologi berarti menetapkan hukum terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan manusia,[2] dalam perihal ini berarti penetapan hukum yang berkaitan dengan Perbankan.

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 pengertian Bank adalah berupa badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkanya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak (Pasal 1 Angka 2). Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya (Pasal 1 angka 1).[3]

Bank syariah terdiri dari dua kata, yaitu (a) bank, dan (b) syariah. Kata bank bermakna suatu lembaga keuangan yang berfungsi suatu perantara keuangan dari dua pihak, yaitu pihak yang berkelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Kata syariah dalam versi bank syariah di Indonesia adalah aturan perjanjian berdasarkan yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain untuk penyimpangan dana dan/ atau pembiayaan  kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum islam.

Penggabungan kedua kata dimaksud, menjadi “bank syariah”. Bank syariah adalah suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana untuk kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum islam. Selain itu, bank syariah biasa disebut Islamic banking atau interest fee banking, yaitu suatu system perbankan dalam pelaksanaan operasional tidak menggunakan sistem bunga (riba), spekulasi (maisir), dan ketidak pastian atau ketidak jelasan (gharar).[4]

Menurut Ensiklopedi Islam, Bank Islam atau Bank Syari’ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoprasianya sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.[5]

Jadi pengertian Hukum Perbankan Syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank yang memenuhi prinsip-prinsip Syari’ah dan memiliki peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan.

1.2  Dasar Hukum Perbankan Syariah

Bank syariah sebagai sebuah lembaga keuangan mempunyai mekanisme dasar, yaitu menerima deposito dari pemilik modal (depositor) dan mempunyai kewajiban (liability) untuk menawarkan pembiayaan kepada investor pada sisi asetnya, dengan pola dan/atau skema pembiayaan yang sesuai dengan syariat Islam. Pada sisi kewajiban, terdapat dua kategori utama, yaitu interest-fee current and saving accounts dan investment accounts yang berdasarkan pada prinsip PLS (Profit and Loss Sharing) anatar pihak bank dengan pihak depositor; sedangkan pada sisi aset, yang termasuk didalamnya adalah segala bentuk pola pembiayaan yang bebas riba dan sesuai prinsip atau standar syariah, seperti mudharabah, musyarakah, istisna, salam, dan lain-lain.

Bank syariah secara yuridis normatif dan yuridis empiris diakui keberadaannya di negara Republik Indonesia. Pengakuan secara yuridis normatif tercatat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, diantaranya, Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang No.10  tentang perubahan atas Undang-Undang No.7 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Undang-Undang No.3 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Selain itu, pengakuan secara yuridis empiris dapat  dilihat perbankan syariah tumbuh dan berkembang pada umumnya diseluruh Ibukota Provinsi dan Kabupaten di Indonesia, bahkan beberapa bank konvensional dan lembaga keuangan lainnya membuka unit usaha syariah (bank syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, dan semacamnya). Pengakuan secara yuridis dimaksud, memberi peluang tumbuh dan berkembang secara luas kegiatan usaha perbankan syariah, termasuk memberi kesempatan kepada bank umum (konvesional) untuk membuka kantor cabang yang khusus melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

Undang-undang dari landasan dasar hukum diatas, kemudian dijabarkan dalam berbagai peraturan Bank Indonesia yang dirumuskan sebagai berikut:

a)      Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank, mencakup tentang pelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

b)      Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

c)      Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihakyang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

d)     Prinsip syariah adalah aturan perjanjian bedasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpan dana/atau pembiayaan kegiatan usaha dan/atau kegiata lainnya yang dinyatakan sesuai syariah, anatara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan dengan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau adanya pilihan pemindahan pemilikan atau barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtima).[6]

Selain itu, perlu dikemukakan bahwa dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun1999 tentang Bank Indonesia, menjelaskan: (1) Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 hari kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek Bank yang bersangkutan, dan (2) Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh Bank penerima agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya.[7]

2.      LATAR BELAKANG DAN SEJARAH PERBANKAN SYARIAH

Diuraikan Pengurus Besar Muhammadiyah Periode 1937-1944 K.H Mas Mansur bahwa penggunaan bank konvensional pada masa itu dilakukan karena terpaksa oleh umat Islam karena umat Islam belum mempunyai bank sendiri yang terbebas dari riba. Sehingga disusul ide-ide untuk mendirikan bank syari’ah kerap sekali yang sebenarnya sejak pertengahan tahun 1970-an sudah muncul. Pada tahun 1974 wacana ini telah dibicarakan dalam seminar nasional Hubungan Indonesia dengan Timur Tengah, disusul pada tahun 1976 diadakan seminar Internasional yang dilaksanakan oleh LSIK[8] dan yayasan Bhineka Tunggal Ika. Perjalanan proses yang cukup panjang ini menemui hambatan untuk merealisasikan ide-ide tersebut, yaitu: Operasi bank Syari’ah yang notabene menerapkan prinsip bagi hasil oleh pemerintah/UU belum diatur, dan juga tidak sejalan dengan UU Pokok Perbankan UU No. 14 tahun 1967. Di sisi lain pemerintah tidak menghendaki konsep bank syari’ah tersebut dengan alasan bank syari’ah dari segi politis dianggap berkonotasi ideologis, yang ada kaitannya dengan konsep negara Islam. Sehingga pada saat itu juga masih banyak pertanyaan “siapa yang bersedia menaruh modal dalam ventura semacam itu (sistem bagi hasil)” tentunya para pengusaha yang ingin masuk sebagai penanam modal juga masih khawatir akan kelangsungan Investasinya. Sementara pendirian bank baru dari Timur Tengah masih di cegah oleh pemerintah lantaran adanya kebijakan pembatasan bank Asing yang ingin mebuka kantor cabang di Indonesia.[9]

Namun, hambatan-hambatan yang ada tidak menyurutkan niat para tokoh Islam (pendiri) pada saat itu untuk terus berjuang mendirikan lembaga keuangan yang terbebas dari riba. Pada tahun 1980-an pertama kali didirikan di Bandung yaitu Koperasi Baitul Tamwil Jasa Keahlian Teknosa pada tanggal 30 Desember 1980, dengan adanya akta perubahan menjadi tertanggal 21 Desember 1982. Kemudian di Jakarta didirikan Baitut Tamwil kedua dengan nama Koperasi Simpan-Pinjam Ridho Gusti pada tanggal 25 September 1988.

Hal ini diakui atau tidak, berdirinya bank Islam di Indonesia relative lambat dibandingkan dengan sesama Negara OKI, terbukti awal 1980-an konsepsi perbankan Islam masih sebatas diskusi-diskusi yang di pelopori beberapa orang, salah satu diantranya Karmen A. Perwataatamadja, M. Dawam Rahardjo, AM. Saefuddin, M. Amin Aziz, dll yang mengusung tema “BANK ISLAM SEBAGAI PILAR EKONOMI ISLAM” Sebagai gambaran, M. Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah. Kemudian dalam pembentukannya sebagai uji coba gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas.

Pada tahun 1990 tepatnya bulan Agustus konsepsi pembentukan perbankan Islam mendapatkan perhatian khusus terbukti diadakannya lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor tanggal 18-20 Agustus yang di selenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kemudian dalam follow up nya pembahasan hasil dari lokakarya di bahas dalam musyawarah nasional IV MUI di Jakarta tanggal 22-25 Agustus 1990, dengan menghasilkan kesimpulan pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia serta mendapat dukungan nyata dari eksponen Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Dalam peranannya dari tim pembentukan kelompok kerja membuahkan hasil terbukti dengan berdirinya PT BANK MUAMALAT INDONESIA (BMI) pada tanggal 1 November 1991, dan resmi beroperasi pada awal Mei 1992 dengan modal awal Rp. 106.126.382.000,- dan dalam perkembangannya mulai awal beroperasi hingga September 1999 BMI memiliki 45 outlet di seluruh wilayah di Indonesia.

Dalam komentar keterbelakangan Indonesia dalam pembentukan Bank Islam yang di lontarkan oleh K.H Hasan Basri mengatakan bahwa kondisi keterlambatan ini karena political-will belum mendukung, selanjutnya sampai diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syari’ah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syari’ah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syari’ah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syari’ah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh.[10]

3.      PRINSIP DAN BENTUK PRODUK PERBANKAN SYARIAH

3.1  Prinsip Perbankan Syariah

Teori perusahaan yang dikembangkan selama ini di Indonesia menekankan pada prinsip memaksimalkan keuntungan perusahaan. Namun teori ekonomi dimaksud, bergeser pada sitem nilai yang lebih luas, yaitu manfaat yang didpatkan tidak lagi berfokus hanya kepada pemegang saham, melainkan pada semua pihak yang dapat merasakan manfaat kehadiran suatu unit kegiatan ekonomi dan keuangan. Sistem ekonomi syariah menekankan konsep manfaat pada kegiatan ekonomi yang lebih luas, bukan hanya pada manfaat di setiap akhir kegiatan, melainkan pada setiap proses transaksi. Setiap kegiatan proses transaksi yang dimaksud, harus selalu mengacu kepada konsep maslahat dan menjunjung tinggi asas-asas keadilan.

Realisasi dari konsep syariah, pada dasarnya system ekonomi/perbankan syariah memiliki tiga ciri yang mendasar, yaitu (a) prinsip keadilan, (b) menghindari kegiatan yang dilarang, dan (c) memperhatikan aspek kemanfaatan. Oleh karena itu, keseimbangan antara memaksimalkan keuntungan dan pemenuhan prinsip syariah menjadi hal yang mendasar bagi kegiatan operasional bank syariah.

Dalam hal pelaksanaan operasional sistem perbankan syariah akan tercermin prinsip ekonomi syariah dalam bentuk nilai-nilai yang secara umum dapat dibagi dalam dua perspektif, yaitu mikro dan makro. Nilai-nilai syariah dalam perspektif mikro menekankan aspek kompetensi/profesionalisme dan sikap amanah; sedangkan dalam perspektif makro nilai-nilai syariah menekankan aspek distribusi, pelarangan riba dan kegiatan ekonomi yang tidak memberikan manfaat secara nyata kepada sistem perekonomian. Oleh karena itu, dapat dilihat secara jelas potensi manfaat keberadaan sistem perekonomian/perbankan syariah yang ditujukan kepada bukan hanya untuk warga masyarakat Islam, melainkan kepada seluruh umat manusia.

3.2  Bentuk Produk Perbankan Syariah

Bentuk produk bank syariah di negara Indonesia yang mayoritas muslim bahkan terbesar di dunia, terbagi berdasarkan pengaplikasiannya menjadi tiga, yaitu (a) bentuk invesatasi, (b) bentuk penghimpunan dana, dan (c) bentuk penyaluran dana.

Agar lebih mudah, kami membaginya secara umum beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah, antara lain:

  1. Bentuk Investasi

a)      Pasar Modal

Jika investor ingin berinvestasi secara syariah di bursa saham, maka ada dua cara yang dapat ditempuh. Pertama, membuat portofolio tersendiri yang mengacu pada daftar saham halal; dan kedua, lewat reksadana syariah.

b)      Reksadana Syariah

Dalam reksadana syariah, manejer investasi akan menanamkan dananya pada saham atau fixed income yang halal dan dilakukan secara syariah. Investor diperkenalkan pada investasi riil, bukan yang spekulatif(untung-untungan).

c)      Pasar Uang dan Produk Perbankan Syariah

Pasar modal merupakan salah satu investasi yang dilakukan di pasar uang berdasarkan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Untuk mengakses hal dimaksud, dapat dilakukan melalui reksadana syariah atau melalui tabungan dan/atau melalui deposito di bank syariah dengan berdasakan sistem bagi hasil.

d)     Asuransi dan Dana Pensiun Syariah

Dana pensiun syariah yang dimaksud, mempunyai pola yang serupa dengan pola tabungan. Di Indonesia baru ada satu dana pensiun syariah, yaitu Dana Pensiun Syariah yang dikeluarkan PT Principal Indonesia dan untuk perusahaan yang menekuni asuransi syariah juga baru satu, yaitu PT Syarikat Takaful Indonesia.

e)      Gadai Syariah

Gadai syariah adalah salah satu cara untuk memperoleh uang melalui kantor pegadaian syariah. Gadai syariah adalah menahan salah satu harta milik nasabah sebagai barang jaminan atas utang/pinjaman yang diperoleh dari kantor pegadaian syariah.

  1. Bentuk Penghimpunan dan Penyaluran Dana

a)      Titipan atau simpanan

  • Al-Wadi’ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. Bank Muamalat Indonesia-Shahibul Maal.
  • Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.

b)      Bagi hasil

  • Al-Musyarakah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
  • Al-Mudharabah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
  • Al-Muzara’ah, adalah bank memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang pertanian/perkebunan atas dasar bagi hasil dari hasil panen.
  • Al-Musaqah, adalah bentuk lebih yang sederhana dari muzara’ah, di mana nasabah hanya bertanggung-jawab atas penyiramaan dan pemeliharaan, dan sebagai imbalannya nasabah berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.

c)      Jual beli

  • Bai’ Al-Murabahah, adalah penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh: harga rumah 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
  • Bai’ As-Salam, Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Barang yang dibeli harus diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli berdasarkan keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. Contoh: Pembiayaan bagi petani dalam jangka waktu yang pendek (2-6 bulan). Karena barang yang dibeli (misalnya padi, jagung, cabai) tidak dimaksudkan sebagai inventori, maka bank melakukan akad bai’ as-salam kepada pembeli kedua (misalnya Bulog, pedagang pasar induk, grosir). Contoh lain misalnya pada produk garmen, yaitu antara penjual, bank, dan rekanan yang direkomendasikan penjual.
  • Bai’ Al-Istishna’, merupakan bentuk As-Salam khusus di mana harga barang bisa dibayar saat kontrak, dibayar secara angsuran, atau dibayar di kemudian hari. Bank mengikat masing-masing kepada pembeli dan penjual secara terpisah, tidak seperti As-Salam di mana semua pihak diikat secara bersama sejak semula. Dengan demikian, bank sebagai pihak yang mengadakan barang bertanggung-jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan pekerjaan dan jaminan yang timbul dari transaksi tersebut.

d)     Sewa

  • Al-Ijarah
  • Al-Ijarah Al-Muntahia Bit-Tamlik

e)      Jasa

  • Al-Wakalah
  • Al-Kafalah
  • Al-Hawalah
  • Ar-Rahn
  • Al-Qardh

4.      PERAN BANK INDONESIA DALAM MENERAPKAN SISTEM PERBANKAN SYARIAH DAN TANTANGAN PENGEMBANGANNYA

4.1  Peran Bank Indonesia Dalam Menerapkan  Sistem Perbankan Syariah

Bank Indonesia telah menetapkan visi dan misi perbankan syariah dan merencanakan strategis untuk mencapai sasaran penegmabangan secara objektif pradigma kebijakan yang diterapkan secara konsisten, yaitu (a) market driven, pertumbuhan berdasarkan kebutuhan pasar; (b) fair treatment, membangun persaingan industry yang sehat berdasarkan karakteristik perbankan syariah dan bukan memberikan perlakuan khusus beradasrkan argument infant industry, (c) Gradual and sustainable approach, prioritas dan fokus pengembangan beradasarkan situasi dan kondisi serta dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan, (d) Comply to sharia principle, pengaturan industri dan pengembangan infrastruktur yang sesuai dengan prinsip syariah.

Pelaksanaan pengembangan secara objektif pradigma kebijkan yang dimaksud, pada dasarnya dibagi dalam 4 (empat) fokus area pengembangan yang berdasarkan kerangka waktu dalam tiga tahap periode pencapaian. Empat fokus utama dimaksud, mencakup kepatuhan pada prinsip syariah, prinsip kehati-hatian dalam beroperasi, efesiensi operasional dan daya saing serta kesetabilan sistem perbankan. Tujuan dari proses pentahapan dimaksud, agar perkembangan sistem perbankan syariah dapat dilakukan dengan mantap berkesinambungan dan sesuai dengan permintaan riil.

4.2  Tantangan Pengembangan Sistem Perbankan Syariah

Sebelum mengemukakan tantangan pengembanagn sistem perbankan syariah, kami perlu mengemukakan beberapa hal. Pertama, perbankan syariah memiliki daya tahan yang relatif lebih kuat dalam menghadapi krisis ekonomi dan moneter di tahun 1998 s.d tahun 2000-an. Fakta hukum dimaksud, menunjukan bahwa dalam periode krisis ekonomi perbankan syariah diharapkan dapat berperan lebih besar dalam proses pemulihan perekonomian di Indonesia yang masih terus berlangsung dan masih terasa sampai tahun 2007. Kedua, nilai-nilai syariah dalam perspektif mikro dan makro dapat menentukan perkembangan Bank Syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya. Oleh karena itu, nilai-nilai mikro dimaksud berarti menghendaki bahwa semua dana yang diperoleh dalam sistem perbankan syariah dikelola dengan integritas tinggi dan sangat berhati-hati. Sedangkan nilai-nilai yang bersifat makro berarti menghendaki bahwa semua aktifitas perbankan syariah mengandung amar makruf dan nahi munkar sehingga perbankan syariah harus berkontribusi terhadap penciptaan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, kami disini memberikan jabaran secara singkat penerapan makna yang terkandung dari nilai-nilai tersebut.

  1. Nilai-Nilai yang Bersifat Mikro
  2. Shiddiq, memastikan bahwa pengelola bank syariah dilakukan dengan moralitas yang menjunjung tinggi nilai kejujuran.
  3. Tabligh, secara berkesinambungan melakukan sosialisasi dan mengedukasi masyarakat mengenai prinsip-prinsip, produk dan jasa perbankan syariah.
  4. Amanah, menjaga dengan ketat prinsip kehati-hatian dan kejujuran dalam mengelola dana yang diperoleh dari pemilik dana, sehingga timbul rasa saling percaya antara pemilik dana dengan pengelola dana.
  5. Fathanah, memastikan bahwa pengelolaan bank dilakukan secara profesional dan kompetetif sehingga menghasilkan keuntungan maksimum dalam tingkat resiko yang ditetapkan oleh bank.
  6. Nilai-Nilai yang Bersifat Makro
  7. Kaidah zakat, mengkondisikan perilaku masyarakat yang lebih banyak berinvestasi dibandingkan dengan hanya menyimpan hartanya.
  8. Kaidah pelarangan riba, menganjurkan pembiayaan bersifat bagi hasil dan melarang riba.
  9. Kaidah pelarangan judi atau maisir tercermin dari kegiatan bank yang melarang investasi yang tidak memiliki kaitan dengan sektor riil.
  10. Kaidah pelarangan gharar, mengutamakan transparansi dalam bertransaksi dan kegiatan operasi lainnya dan menghindari ketidak jelasan.

Dalam upaya mendorong pertumbuhan industri perbankan syariah yang masih berada pada tahap awal pengembangan, beberapa hal penting yang perlu mendapatkan perhatian karena hal itu yang akan menjadi tantangan pengembangan sistem perbankan syariah antara lain.

  1. Kerangka dan perangkat pengaturan perbankan syariah yang belum lengkap, maka untuk mendukung kegiatan tersebut, perbankan syariah membutuhkan kerangka dan perangkat pengaturan yang sesuai dengan karakteristik operasionalnya. Dan yang dibutuhkan, diantaranya (a) penciptaan instumen-instrumen keuangan serta aturan yang diharapkan; (b) penyusunan sistem peringatan dini; (c) penyusunan pedoman kode etik.
  2. Cakupan pasar masih terbatas, maka hal yang harus dilakukan adalah (a) mendukung terciptanya iklim yang kondusif; (b) penyederhanaan proses administrasi; (c) tersedianya informasi pasar/permintaan jasa perbankan syariah; (d) tersedianya SDM yang kompeten dan profesional dalam jumlahyang cukup.
  3. Kurang pemahaman produk dan jasa perbankan syariah, salah satu cara pemecahannya adalah dengan cara melalui upaya edukasi kepada publik secara terencana dan terkoordinasi.
  4. Instusi pendukung belum lengkap dan efektif, maka diperlukan upaya agar institusi pendukung dimaksud, lebih efektif dalam melaksanakan fungsinya, sehingga memberikan dampak positif terhadap pengembangan perbankan syariah.
  5. Skim pembiayaan bagi hasil perlu ditingkatkan.
  6. Pemenuhan standar keuangan syariah.

BAB III

KESIMPULAN

Dari ulasan di atas terlihat, Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara. Sedangkan perbankan syariah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.

Meskipun prinsip-prinsip tersebut mungkin saja telah diterapkan dalam sejarah perekonomian Islam, namun baru pada akhir abad ke-20 mulai berdiri bank-bank Islam yang menerapkannya bagi lembaga-lembaga komersial swasta atau semi-swasta dalam komunitas muslim di dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

As-Sunny, M. Tohir. Pengertian Hukum Perbankan Syariah. Artikel diakses pada 21 Desember 2011 dari http://mochtohir.com/index.php?option=comcontent&view=article&id=96:pengertian-hukum-perbankan-syariah&catid=44:syariah&Itemid=170.

Permana, Sugiri. Makalah ; Sengketa Perbankan Syariah. Pengadilan Tinggi Agama Pontianak, 2008.

Sohn, Alan. Perbankan Syariah. Artikel diakses pada 21 Desember 2011 dari id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah.

Sumitro, Warkum. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga yang terkait. Jakarta : PT.Raja Grafindo. 1996.

Susanto, Burhanuddin. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: UII Press. 2008.


[1] Sugiri Permana. Makalah ; Sengketa Perbankan Syariah. Hlm: 1.

[2] Burhanuddin Susanto. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. (Yogyakarta : UII Press. 2008). Hlm: 7

[3] Op.Cit. Burhanudin Susanto. Hlm : 17

[4] Zainuddin Ali. Hukum Perbankan Syariah.(Jakarta : Sinar Grafika. 2010). Hlm: 1

[5] Warkum Sumitro. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga yang terkait. (Jakarta : PT.Raja Grafindo. 1996) Hlm : 5

[6] Op. Cit. Zainuddin Ali. Hlm : 5

[7] Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun1999 tentang Bank Indonesia.

[8] Lembaga Studi Ilmu Kemasyarakatan

[9] M. Tohir As-Sunny. Pengertian Hukum Perbankan Syariah. Dikutip dari internet, www.mochtohir.com. tanggal 21 Desember 2011.

[10] Ibid.

By rahmatyudistiawan

Tentang Penulis

RAHMAT YUDISTIAWAN

Bandar Lampung, 27 Februari 1993

RIWAYAT PENDIDIKAN

TK Tambun Indah Inkopol Tahun 1998

SDN 2 Kedaton Bandar Lampung Tahun 1999-2002, hingga kelas 3

SDN Sumber Jaya 04 Bekasi Tahun 2002-2005

Ponpes/SMP-IT Al-Binaa IBS Tahun 2005-2008

IAI MAN 1 (Model) Bandar Lampung Tahun 2008-2010

S1 Ahwal Syakhshiyyah (Konsentrasi Peradilan Agama), Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010-2015

S2 Hukum Keluarga Islam, Program Magister Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2015-2020

RIWAYAT PENGABDIAN

Ketua ROHIS MAN 1 Model Bandar Lampung Tahun 2009-2010

Pengurus OKAS (Organisasi Keasramaan) Asrama Putra IAI MAN 1 Model Bandar Lampung Bidang Bahasa Tahun 2009-2010

Pengurus Padepokan Syarhil Qur’an Lampung (PSyQL) Tahun 2011-sekarang

By rahmatyudistiawan
Gambar

Padepokan Syarhil Qur’an Lampung

MTQ Tingkat Provinsi Lampung di Lampung Barat Tahun 2010

DSCF2365

Penampilan Penyisihan MSyQ Tingkat Provinsi Lampung di Lampung Barat Tahun 2010

DSC_0290

Penampilan Final MSyQ Tingkat Provinsi Lampung di Lampung Barat Tahun 2010

13052010(012)

MTQ Tingkat Provinsi Lampung di Lampung Barat Tahun 2010 bersama dengan Bupati dan Wakil Bupati Lampung Barat

13052010(010)

MTQ Tingkat Provinsi Lampung di Lampung Barat Tahun 2010 bersama dengan Wakil Bupati Lampung Barat

MTQ Tingkat Provinsi Lampung di Lampung Utara Tahun 2011

Penampilan Final MSyQ Tingkat Provinsi Lampung di Lampung Utara Tahun 2011

Penampilan Final MSyQ Tingkat Provinsi Lampung di Lampung Utara Tahun 2011

MTQ Tingkat Provinsi Banten di Kab. Tangerang Tahun 2012

Penampilan Penyisihan MSyQ Tingkat Provinsi Banten di Kab. Tangerang Tahun 2012

Penampilan Penyisihan MSyQ Tingkat Provinsi Banten di Kab. Tangerang Tahun 2012

Pembagian Hadiah Pada Ajang MTQ Tingkat Provinsi Banten di Kab. Tangerang Tahun 2012

Pembagian Hadiah Pada Ajang MTQ Tingkat Provinsi Banten di Kab. Tangerang Tahun 2012

Penutupan MTQ tingkat Provinsi Banten di Kab. Tangerang Tahun 2012 dengan Group MSyQ Putri

Penutupan MTQ tingkat Provinsi Banten di Kab. Tangerang Tahun 2012 dengan Group MSyQ Putri

Penutupan MTQ tingkat Provinsi Banten di Kab. Tangerang Tahun 2012 dengan Group MSyQ Putri

Penutupan MTQ tingkat Provinsi Banten di Kab. Tangerang Tahun 2012 dengan Group MSyQ Putri

Penutupan MTQ tingkat Provinsi Banten di Kab. Tangerang Tahun 2012

Penutupan MTQ tingkat Provinsi Banten di Kab. Tangerang Tahun 2012

Menyaksikan MKQ tingkat Provinsi Banten di Kab. Tangerang Tahun 2012

Menyaksikan MKQ tingkat Provinsi Banten di Kab. Tangerang Tahun 2012

Penampilan Final MSyQ Tingkat Provinsi Banten di Kab. Tangerang Tahun 2012

Penampilan Final MSyQ Tingkat Provinsi Banten di Kab. Tangerang Tahun 2012

Penampilan Penyisihan MSyQ Tingkat Provinsi Banten di Kab. Tangerang Tahun 2012

Penampilan Penyisihan MSyQ Tingkat Provinsi Banten di Kab. Tangerang Tahun 2012

Kisah Kehidupan Luhur “Sang Inspirator Islam”(Imam Syafi’i) oleh Rahmat Yudistiawan

BAB I

PENDAHULUAN

Imam Syafi’I ialah imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah pendukung terhadap ilmu hadist dan pembaharu dalam agama (mujaddid) dalam abad kedua Hijriah.

Masa hidup Imam Syafi’I ialah semasa pemerintahan Abbasiyah. Masa ini adalah suatu masa permulaan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Sebagaimana telah diketahui di masa ini juga penerjemah kitab-kitab mulai banyak, ilmu falsafah juga dipindahkan, ilmu-ilmu juga disusun dan berbagai pemahaman telah timbul dalam masyarakat Islam. Banyaklah peristiwa yang ada kaitannya denga masyarakat berlaku dan bermacam-macam pula aliran pikir berkembang serta banyak pula pengacau.

Percobaan untuk membuat kekacauan dan kejahatan dikalangan umat telah berlaku, di masa ini juga timbul golongan Mutakallimin dan pengacau yang keluar dari agama. Perbedaan antara Ahlul-Hadist dan Ahlul-Nakli dengan aliran Ahlul-Ra’yi mulai diketahui oleh orang banyak. Bidang perbincangan dan perdebatan antara keduanya semakin luas, tetapi Imam Syafi’I hampir sama dengan aliran yang pertama.

Kerajaan Islam mulai luas dan berdirilah ibukota-ibukota yang besar yang terkenalsebagai gedung ilmu pengetahuan yang luas, seperti Kota Baghdad, Kufah, Basrah, Damsyik, Qurtubah dan lain-lain sebagainya. Pada sebagian kota-kota itulah Imam Syafi’I memulai pengembaraannya dalam mencari ilmu dan merintis penulisan karya-karyanya yang luar biasa. Maka fokus tulisan ini ingin mengeksplorasi riwayat hidup dan pemikiran Imam Asy-Syafi’i serta hukum Islam pada masanya. Pentingnya pembahasan ini didalami agar kita dapat mengenal lebih mengetahui tentang beliau itu sendiri sebagai seorang Nashir Al-Haq Wa As-Sunnah.

BAB II

RIWAYAT DAN PERJALANAN HIDUP IMAM ASY-SYAFI’I

 

A.    KETURUNAN DAN KELAHIRANNYA

Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah(panggilan) Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn Utsman ibn Asy-Syafi’I ibn As-Saib ibn Ubaid ibn Abdu Yazid ibn Hasyim ibn Muthalib ibn Abdu Manaf ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrah ibn ibn Ka’ab ibn Lu’ai ibn Ghalib. Muthalib adalah saudara kandung Hasyim ibn Abdu Manaf. Sedangkan Hasyim adalah ayah Abdul Muthalib , kakek dari Nabi Muhammad saw. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.

Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau(yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau) menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar(yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar(senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraisy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.

Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraisy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’(dekat) saja.

Adapun ibu Imam Asy-Syafi’I adalah cucu perempuan dari saudara perempuan Fathimah binti Asad, ibu Imam Ali ibn Abi Thalib. Oleh karena itu, Imam Asy-Syafi’I mengatakan, “Ali ibn Abi Thalib adalah putra pamanku dan putra bibiku.” Dengan demikian, maka ibu imam syafi’I adalah cucu dari syadina ali ibn abu thalib, menantu nabi Muhammad saw. dan khalifah ke empat yang terkenal. Dalam sejarah ditemukan, bahwa Said ibn Yazid, kakek Imam Syafi’i yg kelima adalah sahabat nabi Muhammad saw.

Imam Syafi’I dilahirkan di Gazza pada bulan Rajab tahun 150H(767 M). Menurut suatu riwayat, pada tahun itu juga wafat Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’I wafat di Mesir pada tahun 204H(819 M).

Ketika ayah dan ibu Imam Syafi’I pergi ke Syam dalam suatu urusan, lahirnya Syafi’I di Gazah, atau Asqalan. Ketika ayahnya meninggal, ia masih kecil. Ketika baru berusia dua tahun, Syafi’I kecil dibawa ibunya ke Mekkah. Ia dibesarkan ibunya dalam keadaan fakir

Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.

Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.

B.     SIFAT, PERTUMBUHAN DAN PENGEMBARAANNYA MENCARI ILMU

Sebagaimana disebutkan Abu Nu’aim dengan sanadnya dari Ibrahim bin Murad, dia berkata, “Imam Syafi’I itu berbadan tinggi, gagah, berdarah bangsawan dan berjiwa besar.” Sedang menurut Az-Za’farani mengatakan bahwa Imam Asy-Syafi’I adalah seorang yang berwajah simpatik dan ringan tangan.

Al Muzni berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang wajahnya lebih tampan melebihi Asy-Syafi’I. Ketika dia memegang jenggotnya, maka aku melihat bahwa tidak ada orang yang lebih bagus dari cara dia memegangnya.”

Dalam kitab yang lain mengatakan bahwa ketika usianya menginjak dewasa, ia bertubuh jangkung semampai, pandai menunggang kuda, berkulit keputih-putihan serupa dengan putera-putera bengawan Nil. Wajahnya berseri dihiasi senyum, berjanggut teratur rapih dan menggunakan bahan pewarna kecoklat-coklatan. Demikian juga dengan rambutnya yang menggunakan pewarna yang terbuat dari daun inai. Hal ini dikarenakan beliau mengikuti sunnah. Lembut tutur katanya, lembut suaranya, dan dari kedua matanya terpancar sinar yang menunjukan persahabatan yang tulus kepada orang yang memandangya. Padahal, kedua pelupuk matanya tampak letih akibat banyak begadang di malam hari, banyak merenung dan memeras otak, seolah-olah melayang bersama jiwa raganya dalam upaya meneliti dan menggali kebenaran Syariat. Ia selalu berpakain bersih yang terbuat dari kain kasar dan berjalan dengan tongkat yang agak besar, sehingga tampak sebagai seorang haji wara’(yang hidup menjauhkan diri dari kesenangan dan kenikmatan duniawi) atau sebagai pengembara.

Hidup Imam Asy-Syafi’i merupakan satu sisi pengembaraan yang tersusun di dalam bentuk yang sungguh menarik dan amat berkesan terhadap pembentukan kriteria ilmiah dan popularitinya. Dalam asuhan ibunya ia dibekali pendidikan, sehingga pada umur 7 tahun sudah dapat menghafal al-qur’an pada Ismail ibn Qastantin, qari’ kota Makkah. Sebuah riwayat mengatakan, bahwa Syafi’I pernah khatam Al-Qur’an dalam bulan Ramadhan sebanyak 60 kali.

Imam Syafi’I pergi dari Makkah menuju suatu dusun Bani Huzail untuk mempelajari bahasa arab karena disana terdapat pengajar-pengajar bahasa arab yang fasih dan asli. Imam Syafi’I tinggal di Huzail selama kurang lebih 10 tahun. Di sana ia belajar sastra arab, ia tergolong untuk memahami kandungan al-qur’an yang berbahasa arab yang fasih, asli dan murni. Imam Syafi’I menjadi orang terpecaya dalam soal syi’ir-syi’ir kaum Huzael.

Sebelum menekuni fiqih dan hadits, Imam Syafi’I tertarik pada puisi, syi’ir dan sajak bahasa arab. Ia belajar hadits dari Imam Malik di Madinah. Dalam usia 13 tahun ia telah dapat menghafal al-Muwaththa. Sebelumnya Imam Syafi’I pernah belajar hadits kepada Sufyan ibn Uyainah salah seorang Ahlu Hadits di Mekkah.

Menurut Khudhary Bek, sebelum imam syafi’I pergi ke Baghdad ia telah mempelajari hadits dari dua orang ahli hadits namanya, yaitu Sufyan ibn Uyainah di Mekkah dan Imam Malik di Madinah. Keduanya merupakan “Syaikh” Imam Syafi’I yang terbesar, sekalipun ada “syaikh” yang lainnya.

Menurut Ahmad Amin dalam Dhuha Al-Islam, Imam Syafi’I belajar fiqih dari Muslim ibn Khalid al-Zanjiy seorang Mufti Makkah. Kemudian ia ke Madinah dan menjadi murid Imam Malik serta mempelajari al-Muwaththa yang telah dihafalnya, sehingga Imam Malik melihat, bahwa al-Syafi’I termasuk orang yang sangat cerdas dan kuat ingatannya. Oleh sebab itu Imam Malik sangat menghormati dan dekat dengannya.

Menurut  Ibn Hajar Al-Asqalany, selain kepada Muslim ibn Khalid al-Zanjiy, Malik dan Sufyan ibn Uyainah, Imam Syafi’I belajar pula kepada Ibrahim ibn Sa’ad ibn Salim Alqadah, Al-Darawardiy, Abd Wahab al-Tsaqafiy, Ibn Ulayyah, Abu Damrah, Hatim ibn Ismail, Ibrahim ibn Muhammad ibn Khalid al-Jundiy, Umar ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn Syafi’I, ‘Athaf ibn Khalid al-Mahzumiy, Hisyam ibn Yusuf al-Shan’any dan sejumlah ulama lainnya.

Imam Syafi’I belajar kepada Imam Malik di Madinah sampai Imam Malik meninggal. Setelah itu ia pergi merantau ke Yaman. Di Yaman, pernah mendapat tuduhan dari Khalifah Abbasiyah (penguasa waktu itu), bahwa Asy-Syafi’I telah membaiat ‘Alawy atau dituduh sebagai Syi’iy. Karena tuduhan itu, maka ia dihadapkan kepada Harun al-Rasyid membebaskannya dari tuduhan tersebut. Peristiwa itu terjadi tahun 184 H, ketika Syafi’I diperkirakan berusia 34 tahun.

Tahun 195 H, Asy-Syafi’I pergi ke Baghdad dan menetap disana selama 2 tahun. Setelah itu ia kembali lagi ke Makkah. Pada tahun 198 H. ia kembali lagi ke Baghdad dan menetap disana beberapa bulan, kemudian tahun 198 H. ia pergi ke Mesir dan menetap di Mesir sampai wafat pada tanggal 29 Rajab sesudah menunaikan shalat isya. Imam Syafi’I dimakamkan di suatu tempat di Qal’ah, yang bernama Mishru Alqadimah.

Ibnu Hajar mengatakan pula, bahwa ketika kepemimpinan fiqh di Madinah berpuncak pada Imam Malik, Imam Syafi’I pergi ke Madinah untuk belajar kepadanya, dan ketika kepemimpinan fiqh di Irak berpuncak pada Abu Hanifah dan Syaibany (salah seorang murid Abu Hanifah).oleh sebab itu Imam Syafi’I berhimpun pengetahuan fiqh Ashab al-Hadits (Imam Malik) dan fiqh Ashab al-Ra’yi (abu Hanifah). Bahwa Imam Syafi’I mempunyai pengetahuan yang sangat luas dalam bidang lughah dan adab, di samping pengetahuan hadits yang ia peroleh dari beberapa negeri. Sedangkan pengetahuannya dalam bidang fiqh meliputi fiqh Ashab al-ra’yi di Irak dan fiqh Ashab al-hadits di Hijaz.

C.    POLA PEMIKIRAN, METODE ISTIDLAL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMAM SYAFI’I DALAM MENETAPKAN HUKUM ISLAM

Secara umum sebagai produk sosial budaya semasa dan setempat, ilmu selalu terkait dengan kondisi masyarakat, ilmu hukum tidak terkecuali. Hukum mengatur perilaku masyarakat, tetapi kebiasaan yang berlaku turut pula menjadi sumber hukum itu sendiri. Dalam hukum Islam, ketentuan hukum yang terkait dengan, atau diatur berdasarkan urf cukup besar jumlahnya. Pada satu sisi, fiqh adalah penjabaran dari nash-nash al Qur’an dan Hadits. Jadi sepanjang nash-nash itu tidak berubah, tentu fiqhnya pun akan tetap sama. Akan tetapi, pada sisi lain fiqh merupakan hasil ijtihad ulama yang senantiasa berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena itu besar kemungkinan fiqh terpengaruh oleh lingkungan mujtahid itu sendiri.

Imam Syafi’I sebagaimana latar belakang pendidikan dan pemikirannya, termasuk salah seorang jajaran Imam penganut Ahlu As-Sunnah wa al-Jama’ah, yang dalam cabang Furuiyyahnya berpihak pada dua kelompok, yaitu ahlu Al-Hadis dan Ahlu Ar-Ra’yi (sintesa pemikiran tengah). Rihalah Fi Thalabil Ilmi, demikian beliau dijuluki berkat pengembaraan yang dilakukannya ke negeri Hijaz untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik, ke Irak menuntut ilmu kepada Muhammad Ibnu Al-Hasan (seorang murid Imam Abu Hanifah), bekerja di Yaman dan beberapa kali datang ke Baghdad, sebelum akhirnya menetap di Mesir. Dengan demikian ia cukup mengenal berbagai aliran dan mazhab yang ada di kota-kota itu. Dari sinilah kemudian ia mendapatkan dan membekali dirinya sebagai seorang Ahlu Al-Hadits, tetapi dalam bidang Fiqh, ia terpengaruh oleh pemikiran kelompok Ahlu Ar-Ra’yi dengan melihat kepada metode penetapan hukum yang beliau pakai.

Pengetahuanya seputar sosial kemasyarakatan sangatlah luas sebab beliau menyaksikan secara langsung kehidupan masyarakat, baik masyarakat desa dengan pemikiran yang relatif sederhana ataupun pemikiran masysrakat kota yang sudah kompleks, seperti Irak, Mesir hingga kehidupan para zuhud pun pernah ia geluti.

Berangkat dari keberanekaragaman itulah, ia mendapatkan bekal yang cukup dalam memutuskan ijtihadnya mengenai masalah-masalah hukum, sehingga dalam istinbatnya sangat mempengaruhi sistem dalam madzhabnya.

Dalam bidang hadits, beliau sebagai peletak petama tentang kaidah periwayatan Al-Hadits, bahkan beliaulah satu-satunya orang yang bersikeras mempertahankan posisi hadits (melebihi gurunya, Imam Malik bin Anas). Bahkan tak jarang ditemukan pandangan-pandangan beliau yang berbeda dengan gurunya, Al-Hadits yang sanadnya shahih dan muttasil, menurutnya wajib diamalkan, tanpa harus dikaitkan dengan amalan Ahlu Madinah sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Abu Hanifah. Dari sinilah kemudian ia juga dikenal sebagai Nashir As-Sunnah.

Di samping itu, Imam Syafi’I memiliki dua pandangan ijtihad yang dikenal dengan sebutan Qaul Qadim yang tertuang dalam kitabnya Al-Hujjah yang ditulis di Irak dan Qaul Jadid yang tertuang dalam kitab Al-Umm yang dikarang di Mesir. Terwujudnya dua pandangan ini, diperkirakan sebagai perwujudan dari adanya situasi yang mempengaruhi terhadap ijtihadnya. Sebab di Irak ia melakukan pemaduan terhadap beberapa kitab yang telah beliau pelajari dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang telah beliau miliki berdasarkan pada teori Ahlu Al-Hadist.

Perlu diketahui bahwa Qaul Qadim Imam Syafi’I merupakan pandangan-pandangannya yang dihasilkan dari perpaduan antara madzhab Irak dan pendapat Ahlu al-Hadits, lalu beliau pergi ke Makkah dan tinggal disana untuk beberapa lama. Di Makkah inilah beliau bertemu dan berdiskusi banyak dengan murid Imam Abu Hanifah, Muhammad Ibn Hasan, lalu akhirnya beliau pun kembali ke Irak untuk mendiktekan Qaul Qadimnya kepada muridnya.

Dengan demikian maka Qaul Qadim Imam Syafi’I merupakan hasil pemikirannya dengan memadukan antara Fiqh Ahlu Al-Hadis yang bersifat tradisional, sehingga pola pemikiran semacam inilah oleh para ulama dinilai lebih sesuai dengan pola pemikiran para ulama yang datang dari berbagai Negara Islam ke Makkah dan akhirnya juga mudah tersebar ke berbagai Negara.

Ada beberapa ahli mengemukakan bahwa perbedaan lingkungan sosial kultural (Baghdad-Mesir) adalah sebagai faktor penyebab berubahnya fatwa Asy Syafi’i dari Qaul Qadim ke Qaul Jadid. Hasil observasi atas masyarakat Mesir berperan penting dalam peninjauan dan penyesuaian-penyesuaian yang melahirkan untuk Qaul Jadidnya. Menurut riwayat Imam Nawawi, Imam Syafi’i sendiri pernah menyatakan bahwa Qaul Qadim tidak boleh diriwayatkan lagi karena ia telah rujuk dari Qaul itu. Dengan demikian untuk masa selanjutnya, Qaul Jadidlah yang dianggap sebagai mazhab Asy Syafi’i.

Dari pembahasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pokok-pokok pikiran beliau dalam mengistinbathkan hukum adalah:

a)      Al-Qur’an dan al-Sunnah

Imam Syafi’i memandang Al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu martabat. Beliau menempatkan Al-Sunnah sejajar dengan Al-Qur’an, karena menurut beliau, Sunnah itu menjelaskan Al-Qur’an, kecuali Hadits Ahad tidak sama nilainya dengan Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir. Disamping itu, karena Al-Qur’an dan Sunnah keduanya adalah wahyu, meskipun kekuatan Sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti Al-Qur’an.

Dalam pelaksanaannya, Imam Syafi’i menempuh cara, bahwa apabila di dalam Al-Qur’an sudah tidak ditemukan dalil yang dicari, ia menggunakan Hadits Mutawatir. Jika tidak ditemukan dalam Hadits Mutawatir, ia menggunakan Hadits Ahad. Jika tidak ditemukan dalil yang dicari dalam kesemuanya itu, maka dicoba untuk menetapkan hukum berdasarkan Zohir Al-Qur’an atau Sunnah secara berturut.

Imam Syafi’i walaupun berhujjah dengan hadis ahad, namun beliau tidak menempatkannya sejajar dengan Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir, karena hanya Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir sejalah yang Qath’iy Tsubutnya, yang dikafirkan orang yang mengingkarinya dan disuruh bertaubat.

Imam Syafi’i dalam menerima Hadits Ahad mensyaratkan sebagai berikut:

  1. Perawinya terpercaya. Ia tidak menerima hadis dari orang yang tidak dipercaya.
  2. Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkannya.
  3. Perawinya dhabith (kuat ingatannya)
  4. Perawinya benar-benar mendengarkan sendiri hadis itu dari orang yang menyampaikan kepadanya.
  5. Perawi itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis itu.

b)      Ijma

Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijma adalah hujjah dan ia menempatkan ijma ini sesudah Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebelum Qiyas. Imam Syafi’i menerima ijma sebagai hujjah dalam masalah-masalah yang tidak diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Ijma menurut pendapat Imam Syafi’i adalah ijma ulama pada suatu masa di seluruh dunia islam, bukan ijma suatu negeri saja dan bukan pula ijma kaum tertentu saja. Namun Imam Syafi’i mengakui, bahwa ijma sahabat merupakan ijma yang paling kuat.

Ijma yang dipakai Imam Syafi’i sebagai dalil hukum itu adalah ijma yang disandarkan kepada nash atau ada landasan riwayat dari Rasalullah saw. Secara tegas ia mengatakan, bahwa ijma yang berstatus dalil hukum itu adalah ijma sahabat.

Imam Syafi’i hanya mengambil ijma sharih sebagai dalil hukum dan menolak ijma sukuti menjadi dalil hukum.

c)      Qiyas

Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil keempat setelah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dalam menetapkan hukum.

Imam Syafi’i adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya. Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun telah menggunakan qiyas dalam berijtihad, namun belum membuat rumusan patokan kaidah dan asas-asasnya, bahkan dalam praktek ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang jelas, sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru.

Disinilah Imam Syafi’i tampil ke depan memilih metode qiyas serta memberikan kerangka teoritas dan metodologinya dalam bentuk kaidah rasional namun tetap praktis. Untuk itu Imam Syafi’i pantas di akui dengan penuh penghargaan sebagai peletak pertama metodologi pemahaman hukum dalam islam sebagai satu disiplin ilmu, sehingga dapat dipelajari dan diajarkan.

D.    KARYA-KARYA IMAM SYAFI’I DAN PENYEBARAN SERTA PERKEMBANGAN MADZHABNYA

Imam Asy-Syafi’I adalah orang pertama kali yang berkarya dalam bidang Ushul Fiqh dan Ahkam Al-Quran. Para ulama dan cendikia terkemuka pada mengkaji karya-karya Imam Asy-Syafi’I dan mengambil manfaat darinya.

Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Menurut Abu Bakar Al-Baihaqy dalam kitab Ahkam Al-Qur’an, bahwa karya Imam Syafi’i cukup banyak, baik dalam bentuk risalah maupun dalam bentuk kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan Al-Qadhi Imam Abu Hasan ibn Muhammad Al-Maruzy mengatakan bahwa Imam Syafi’i menyusun 113 buah kitab tentang tafsir, fiqih, adab, dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.

Kitab-kitab karya Imam Syafi’i dibagi oleh ahli sejarah menjadi dua bagian:

  • Kitab yang ditulis Imam Syafi’i sendiri, seperti al-umm dan al-Risalah (riwayat dari muridnya yang bernama al-Buwaithy dilanjutkan oleh muridnya oleh muridnya yang bernama Rabi ibn Sulaiman).

Kitab al-umm berisi masalah-masalah fiqih yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pikiran Imam Syafi’i dalam al-Risalah.

Selanjutnya kitab al-Risalah adalah kitab yang pertama dikarang oleh Imam Syafi’i pada usia yang muda belia. Kitab ini ditulis atas permintaan Abd al-Rahman ibn Mahdy di Makkah, karena Abd Rahman ibn Mahdy meminta kepada beliau agar menuliskan suatu kitab yang mencakup ilmu tentang arti al-Qur’an, hal ihwal yang ada didalam al-Qur’an, nash dan mansukh serta hadis Nabi.

  • Kitab yang ditulis oleh murid-muridnya, seperti Mukhtashar oleh al-Muzamy dan Mukhtashar oleh al-Buwaithy (keduanya merupakan ikhtisar dari kitab Imam Syafi’i Al-Imla’ wa al-Amly)

Kitab-kitab Imam Syafi’i, baik yang ditulisnya sendiri, didiktekan kepada murid-muridnya, maupun dinisbahkan kepadanya, antara lain sebagai berikut:

  1. Kitab al-Risalah, tentang Ushul fiqh (riwayat Rabi’)
  2. Kitab al Umm, sebuah kitab fiqh yang di dalamnya dihubungkan pula sejumlah kitabnya.
  3. Kitab al-Musnad, berisi hadis-hadis yang terdapat dalam kitab al-Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya.
  4. Al-Imla
  5. Al-Amaliy
  6. Harmalah (didiktekan kepada muridnya yang bernama Harmalah ibn Yahya).
  7. Mukhtashar al-Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i)
  8. Mukhtashar al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i)
  9. Kitab Ikhtilaf al-Hadis (penjelasan Imam Syafi’i tentang hadis-hadis Nabi Saw).

Kitab-kitab Imam Syafi’i dikutip dan dikembangkan para muridnya yang tersebar di Makkah, di Irak, di Mesir, dan lain-lain. Kitab Al-Risalah merupakan merupakan kitab yang memuat Ushul Fiqh. Dari kitab Al-Umm dapat diketahui, bahwa setiap hukum Far’i yang dikemukakannya, tidak lepas dari penerapan Ushul Fiqh.

Penyebaran Mazhab Syafi’i ini nantara lain di Irak, lalu berkembang dan tersiar ke Khurasan, Pakistan, Syam, Yaman, Persia, Hijaz, India, daerah-daerah Afrika dan Andalusia sesudah tahun 300 H. Kemudian mazhab Syafi’i ini tersiar dan berkembang bukan hanya di Afrika, tetapi ke seluruh pelosok negara-negara islam, baik di Barat, maupun Timur, yang dibawa oleh para muridnya dan pengikutnya dari satu negeri ke negeri yang lain, termasuk ke Indonesia. Kalau kita melihat praktik ibadah dan muamalah umat islam di Indonesia, pada umumnya mengikuti mazhab Syafi’i. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor:

  1. Setelah adanya hubungan Indonesia dengan Makkah dan di antara kaum Muslimin Indonesia yang menunaikan ibadah haji, ada yang bermukim di sana dengan maksud belajar ilmu agama. Guru-guru mereka adalah ulama-ulama yang bermazhab Syafi’i dan setelah kembali ke Indonesia mereka menyebarkannya.
  2. Hijrahnya kaum Muslimin dari Hadhramaut ke Indonesia adalah merupakan sebab yang penting pula bagi tersiarnya mazhab Syafi’i di Indonesia. Ulama dari Hadhramaut adalah bermazhab Syafi’i.
  3. Pemerintah kerajaan Islam di Indonesia, selama zaman Islam mengesahkan dan menetapkan mazhab syafi’i menjadi halauan hukum di Indonesia.
  4. Para pegawai jawatan dahulu, hanya terdiri dari ulama mazhab Syafi’i karena belum ada yang lainnya.

Menurut Ibn As-Subki bahwa Mazhab Asy-Syafi’I telah berkembang dan menjalar pengaruhnya diberbagai tempat, di kota dan di desa, di seluruh negara Islam. Pengikut-pengikutnya terdapat di Iraq dan kawasan-kawasan sekitarnya, di Naisabur, Khurasan, Muru, Syiria, Mesir, Yaman, Hijaz, Iran dan di negara-negara timur lainnya hingga ke India dan sempai negara China. Penyebaran yang sebegitu meluas setidak-tidaknya membayangkan kepada kita sejauh mana kewibawaan pribadi Imam Asy-Syafi’i sebagai seorang tokoh ulama dan keunggulan Mazhabnya sebagai salah satu aliran fiqih dari yang empat.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Imam Syafi’I merupakan salah satu dari keempat imam madzhab yang termasyhur. Beliau adalah imam yang memiliki karakteristik akhlak yang mulia dan memiliki kecerdasan yang luar biasa sehingga banyak gelar dari para ulama lain untuknya.

Kiprah Imam Syafi’I yang cemerlang berakhir dengan wafatnya tetapi ilmunya takkan pernah habis dimakan waktu. Cinta manusia terhadanya, ilmu dan karya-karyanya masih tetap memenuhi bumi sampai sekarang. Tidak satu pun dijumpai ulama besar kecuali berhutang kepada Imam Syafi’i.

Demikianlah yang dapat penulis paparkan sedikit tentang biografi Imam Asy-Syafi’I. Setelah mengetahuinya, moga menjadikan ghirrah kepada kita sebagai Thalabul Ilmi untuk dijadikan contoh dalam hidup kita dalam mensejahterakan seluruh ummat Islam, terkhusus bagi kesejahteraan Negara Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Asy-Syurbasi, Ahmad. Sejarah dan Biografi EMPAT IMAM MADZHAB. Jakarta: Amzah, 2008.

Farid, Syaikh Ahmad. 60 Biografi Ulama Salaf. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.

Nasution, Goloman. “Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Dalam Mazhab Asy-Syafi’iy.” Makalah Mata Kuliah Fiqh Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang, 2008.

Sutrisno, Imam. “Riwayat Hidup Imam Syafi’I”. Artikel diakses pada 19 Februari 2011 dari http://islam.blogsome.com.

Syarifudin, Arif. “Imam Syafi’I Sang Pembela Sunnah dan Hadist Nabi.” Artikel diakses pada 19 Februari 2011 dari http://majalahfatawa.muslim.or.id.

Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Madzhab. Jakarta: Logos, 1997.

By rahmatyudistiawan