Pembuktian dan Macam-macam Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata oleh Rahmat Yudistiawan

BAB I

PENDAHULUAN

 

Dalam menyelesaikan sebuah perkara perdata maupun pidana, pihak yang bertugas menyelesaikan sengketa haruslah melakukan pembuktian untuk menerangi dan menjelaskan secara gamblang apa yang dialami. Pembuktian ini baru ada apabila terjadi bentrokan kepentingan yang diselesaikan melalui peradilan. Sekali lagi hanya diselesaikan melalui peradilan dan melalui hakim yang bersidang di depan persidangan. Lalu bentrokan kepentingan siapa? Kepentingan dari para pihak, penggugat dan tergugat. Bentrokan kepentingan yang diselesaikan melalui persidangan itulah yang kemudian disebut perkara. Perkara yang diajukan ke pengadilan.[1] Pembuktian merupakan cara untuk menunjukkan kejelasan perkara kepada Hakim supaya dapat dinilai apakah masalah yang dialami penggugat atau korban dapat ditindak secara hukum. Oleh karenanya, pembuktian merupakan prosedur yang harus dijalani karena merupakan hal penting dalam menerapkan hukum materil.

Sebagai pedoman, diberikan oleh pasal 1865 B.W. bahwa “Barang siapa yang mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana ia mendasarkan sesuatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barang siapa yang mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu.” Misalnya, jika seorang menggugat orang lain supaya orang ini dihukum menyerahkan sebidang tanah, karena benda ini termasuk harta peninggalan ayahnya, tetapi pendirian ini disangkal oleh tergugat, maka orang yang menggugat itu diwajibkan membuktikan bahwa ia adalah ahliwaris dari si meninggal dan tanah tersebut betul kepunyaan si meninggal itu. Jika ia telah berhasil membuktikan hal-hal tersebut dan pihak tergugat masih juga membantah haknya karena katanya ia telah membeli tanah tersebut secara sah, maka tergugat ini diwajibkan membuktikan adanya jual beli itu.[2]

Tugas pengadilan yang sangat berat, adalah menjaga kepentingan kedua belah pihak/para justiciable, agar kedua belah pihak itu tidak ada yang dirugikan. Tugas ini harus benar-benar dijalankan dengan begitu saja memberikan kepada salah satu pihak untuk membuktikan. Karena perbuatan ceroboh ini akan dapat merugikan atau menguntungkan salah satu pihak. Karena beban pembuktian itu tidak boleh berat sebelah sebab tidak setiap orang dapat membuktikan sesuatu yang benar dan dimungkinkan pula seseorang dapat membuktikan apa yang tidak benar. Perlu ditekankan, bahwa jalannya acara pembuktian di persidangan Pengadilan Perdata akan menentukan hasil akhir perkara.[3]

Maka dari itu, pihak yang berperkara haruslah memberikan bukti yang kuat sesuai dengan masalah yang ada apakah perkara yang dialami. Berkaitan dengan materi pembuktian maka dalam proses gugat menggugat, beban pembuktian dapat ditujukan kepada penggugat, tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada prinsipnya, siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib membuktikannya. Dalam pembahasan makalah kali ini, penulis berusaha menjelaskan kepada para pembaca agar tau tentang pengertian pembuktian dan alat-alat bukti apa saja yang dibuktikan dalam Hukum Acara Perdata.

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    PENGERTIAN PEMBUKTIAN

Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat diantara ahli hukum dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hukum perdata atau hukum acara perdata. Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa sebenarnya soal pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata (procesrecht) dan tidak pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Akan tetapi memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (hukum acara perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam kitab undang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.[4]

Dilain pendapat, pembuktian atau membuktikan menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia mengandung beberapa pengertian:

a)      Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah

Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.

b)      Membuktikan dalam arti konvensionil

Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:

  • kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
  • kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)

c)      Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis

Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian “historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana (Presumption of Innocence), kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa. Dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.

Kesamaan ketiga jenis pembuktian adalah bahwa membuktikan berarti memberi motivasi mengapa sesuatu itu dianggap benar dan didasarkan pada pengalaman dan pengamatan.[5]

Hal ini diperkuat dengan perintah hukum yang termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya yang diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”

B.     MACAM-MACAM ALAT BUKTI

Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa alat bukti (bewijsmiddel) adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di dalam pengadilan. Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu. Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih berpegang kepada jenis dan alat bukti tertentu saja.[6]

Sebelum kami membahas sesuai dengan tema sub-bab kali ini, kami ingin memaparkan terlebih dahulu perbedaan alat bukti dalam perkara pidana dan perdata. Tidak sama jenis ataupun bentuk alat bukti yang diakui dalam perkara pidana dan perdata. Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR sedangkan dalam acara pidana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Untuk lebih jelasnya agar dapat membandingkan antar alat bukti perdata dan pidana sebagai berikut:[7]

Alat Bukti Hukum Acara Perdata Alat Bukti Hukum Acara Pidana
(Pasal 164 HIR, 1866 BW) Pasal 184 KUHAP
Tulisan/Surat

Saksi-saksi

Persangkaan

Pengakuan

Sumpah

Ket. Saksi

Ket. Ahli

Surat

Petunjuk

Ket. Terdakwa

Untuk itu, disini kami akan menjelaskan satu persatu alat bukti Hukum Acara Perdata yang tercantum dalam Pasal 1866 B.W., sebagai berikut:

1. Alat Bukti Tertulis (Surat)

Orang yang melakukan hubungan hukum perdata, tentulah dengan sengaja ataupun tidak membuat alat bukti berbentuk tulisan dengan maksud agar kelak dapat digunakan atau dijadikan bukti kalau sewaktu-waktu dibutuhkan. Sebagai contoh: sewa menyewa, jual beli tanah dengan menggunakan akta, jual beli menggunakan kuitansi, dan lain sebagainya. Sebelum kami membahas secara mendalam, perlulah dilihat bentuk kerangka surat atau alat bukti tertulis dibawah ini:

Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan dan dibuat di depan ataupun oleh pegawai umum atau pejabat pembuat akta tanah itu sendiri, yang dibuat sejak pemula dengan sengaja untuk pembuktian. Unsur paling penting terkait dengan pembuktian adalah tanda tangan. Barang siapa yang telah menandatangani suatu surat dianggap mengetahui isinya dan bertanggung jawab. Syarat penandatanganan dapat kita lihat pada pasal 1874 B.W..

Akta autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata).

Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum.  Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap – tidak berwenang atau bentuknya cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik; namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan.[8]

Sedangkan akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan.[9]

Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :

a)      Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan,

b)      Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.

c)      Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling sedikit dua pihak.

Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah tangan yang bersifat partai, tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari tergugat.[10] Oleh karena bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka penilaian dan penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata. Dengan demikian harus memenuhi syarat :

  1. Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penandatangan;
  2. Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut didalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.

Selanjutnya  ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya melengkapi namun membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya, diantaranya adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti fotokopi. Namun kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti pelengkap tersebut membutuhkan penunjukan barang aslinya.[11] Berikut kami pun memberikan contoh yang diambil dalam sebuah buku Teori dan Praktik Peradilan Perdata di Indonesia oleh Dr. Wahju Muljono, S.H., Kn.:

 

 

Contoh Penyusunan

Bukti tulis – sederhana

 

NO.

DAFTAR BUKTI-BUKTI TERTULIS PEMBANTAH DALAM PERKARA PERDATA DI BAWAH NO……./PDT/BANT/……./PN.BDG

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

 

P – 1             : Surat No. 230/PC-BD/BDG/VI/…..tanggal …………….. . dari Bank ………. . Cabang Bandung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional 1 Kotamadya Bandung, perihal: Roya Hipotek; (oleh Pd BPN)

P – 2             : Akta Jual Beli No. ……./ …/Coblong/ …….tanggal …………….. . Notaris/PPAT………………………..

P – 3             : Akta Jual Beli No. …../ …/Coblong/…….tanggal ………………………

P – 4             : Sertifikat Hak Milik No. …../ Kel. Sekeloa, G.S. No. ……. Tanggal ……………..Seluas ….m2, setempat di kenal sebagai Blok Bangbayang Jl. ………………… Kotamadya Bandung, Wilayah Cibeunying, Kecamatan Coblong, Kelurahan Sekeloa, atas nama ………………….. .

P – 5             : Sertifikat Hak Milik No. ……./ Kel. Sekeloa, G.S. No. ……. Tanggal 27-6-1983 Seluas ….m2, setempat dikenal sebagai Blok Ciheulang Kotamadya Bandung, Wilayah Cibeunying, Kecamatan Coblong, Kelurahan Sekeloa, atas nama………………….. .

Disampaikan dengan hormat oleh

Kuasa Pembantah,

2. Alat Bukti Saksi

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.[12] Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.

Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.

Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR merupakan kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila pihak yang berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela, meskipun telah berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang bersangkutan sangat relevan, menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat menghadirkannya sesuai dengan tugas dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan merupakan tindakan unproffesional conduct.

Saksi yang tidak datang diatur dalam Pasal 139-142 HIR, di mana saksi yang tidak datang, para pihak dapat meminta Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya meskipun secara paksa (Vide Pasal 141 ayat (2) HIR).

Syarat-syarat alat bukti saksi adalah sebagai berikut:[13]

a)      Orang yang Cakap

Orang yang cakap adalah orang yang tidak dilarang menjadi saksi menurut Pasal 145 HIR, Pasal 172 RBG dan Pasal 1909 KUH Perdata antara lain, pertama keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak menurut garis lurus, kedua suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai (Vide Putusan MA No.140 K/Sip/1974. Akan tetapi mereka dalam perkara tertentu dapat menjadi saksi dalam perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (2) HIR dan Pasal 1910 ayat (2) KUH Perdata. Ketiga anak-anak yang belum cukup berumur 15 (lima belas) tahun (Vide Pasal 145 ke-3 HIR dan Pasal 1912 KUH Perdata), keempat orang gila meskipun terkadang terang ingatannya (Vide Pasal 1912 KUH Perdata), kelima orang yang selama proses perkara sidang berlangsung dimasukkan dalam tahanan atas perintah hakim (Vide Pasal 1912 KUH Perdata).

b)      Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan

Alat bukti saksi disampaikan dan diberikan di depan sidang pengadilan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 144 HIR, Pasal 171 RBG dan Pasal 1905 KUH Perdata. Menurut ketentuan tersebut keterangan yang sah sebagai alat bukti adalah keterangan yang disampaikan di depan persidangan.

c)      Diperiksa Satu Persatu

Syarat ini diatur dalam Pasal 144 ayat (1) HIR dan Pasal 171 ayat (1) RBG. Menurut ketentuan ini, terdapat beberapa prinsip yang harus dipenuhi agar keterangan saksi yang diberikan sah sebagai alat bukti. Hal ini dilakukan dengan cara, pertama menghadirkan saksi dalam persidangan satu per satu, kedua memeriksa identitas saksi (Vide Pasal 144 ayat (2) HIR), ketiga menanyakan hubungan saksi dengan para pihak yang berperkara.

d)      Mengucapkan Sumpah

Syarat formil yang dianggap sangat penting ialah mengucapkan sumpah di depan persidangan, yang berisi pernyataan bahwa akan menerangkan apa yang sebenarnya atau voir dire, yakni berkata benar. Pengucapan sumpah oleh saksi dalam persidangan, diatur dalam Pasal 147 HIR, Pasal 175 RBG, dan Pasal 1911 KUH Perdata, yang merupakan kewajiban saksi untuk bersumpah/berjanji menurut agamanya untuk menerangkan yang sebenarnya, dan diberikan sebelum memberikan keterangan yang disebut dengan ”Sistim Promisoris”.

e)      Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai Alat Bukti

Menurut Pasal 169 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata, keterangan seorang saksi saja tidak dapat dipercaya, sehingga minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis) harus dipenuhi atau ditambah alat bukti lain.

f)       Keterangan Berdasarkan Alasan dan Sumber Pengetahuan

Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan diatur dalam Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata. Menurut ketentuan ini keterangan yang diberikan saksi harus memiliki landasan pengetahuan dan alasan serta saksi juga harus melihat, mendengar dan mengalami sendiri.

g)      Saling Persesuaian

Saling persesuaian diatur dalam Pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH Perdata. Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa, keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti, hanya terbatas pada keterangan yang saling bersesuain atau mutual confirmity antara yang satu dengan yang lain. Artinya antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain atau antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain, terdapat kecocokan, sehingga mampu memberi dan membentuk suatu kesimpulan yang utuh tentang persitiwa atau fakta yang disengketakan.

3. Bukti Persangkaan

Menurut Prof. Subekti, S.H., persangkaan adalah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata.[14] Hal ini sejalan dengan pengertian yang termaktub dalam pasal 1915 KUH Perdata “Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”. Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut:[15]

1). Persangkaan Undang-undang (wattelijk vermoeden)

Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.

2). Persangkaan Hakim (rechtelijk vermoeden)

Yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun.

4. Bukti Pengakuan

Pengakuan (bekentenis, confession) adalah alat bukti yang berupa pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan, yang dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan. Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan pihak lawan benar sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH Perdata dan Pasal 174 HIR).

Secara umum hal-hal yang dapat diakui oleh para pihak yang bersengketa adalah segala hal yang berkenaan dengan pokok perkara yang disengketakan. Tergugat dapat mengakui semua dalil gugatan yang dikemukakan penggugat atau sebaliknya penggugat dapat mengakui segala hal dalil bantahan yang diajukan tergugat. Pengakuan tersebut dapat berupa, pertama pengakuan yang berkenaan dengan hak, kedua pengakuan mengenai fakta atau peristiwa hukum.

Lalu yang berwenang memberi pengakuan  menurut Pasal 1925 KUH Perdata yang berwenang memberi pengakuan adalah sebagai berikut:

a)      dilakukan principal (pelaku) sendiri yakni penggugat atau tergugat (Vide Pasal 174 HIR);

b)      kuasa hukum penggugat atau tergugat.

Kemudian bentuk pengakuannya, berdasarkan pendekatan analog dengan ketentuan Pasal 1972 KUH Perdata, bentuk pengakuan dapat berupa tertulis dan lisan di depan persidangan dengan cara tegas (expressis verbis), diam-diam dengan tidak mengajukan bantahan atau sangkalan dan mengajukan bantahan tanpa alasan dan dasar hukum.[16]

5. Bukti Sumpah

Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.

Sedangkan Soedikno berpendapat bahwa “Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang hikmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya”[17]

Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) dan “tambahan” (supletoir eed). Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk “mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu.[18]

Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh “menentukan” jalannya perkara. Suatu “sumpah tambahan”, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.[19]

Untuk lebih jelasnya kami membuatkan table tentang perbedaan antar kedua macam sumpah ini;[20]

Sumpah

Decissoir

Suppletoir

  1. Diminta oleh salah satu pihak kepada pihak lawan;
  2. Alat bukti kuat yang menentukan keputusan;
  3. Dapat dikembalikan;
  4. Dilakukan dalam tiap keadaan.
  1. Diminta oleh hakim (atas perintah hakim kepada salah satu pihak);
  2. Merupakan alat bukti tambahan;
  3. Tidak dapat dikembalikan;
  4. Hanya dilakukan apabila telah ada bukti permulaan bukti.

Dikenal juga dalam Hukum Acara Perdata sumpah aestimatoir (penaksiran) yang diangkat oleh salah satu pihak atas perintah hakim untuk mengucapkan sumpah dalam rangka menentukan jumlah kerugian yang diderita atau mengenai suatu harga barang tertentu yang disengketakan.[21]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

  • Dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
  • Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang wajib membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang berkepentingan didalam perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.
  • Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya, yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
  • Macam-macam Alat Bukti:
  1. Alat bukti tertulis

Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis diantaranya sebagai berikut.

Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai akta dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut  dibagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.

  1. Alat bukti kesaksian

Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidanganAlat bukti persangkaan

“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata.

  1. Alat bukti pengakuan

Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH Perdata pasal 1923-1928. Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak, karenanya tidak diperlukan persetujuan dari pihak lawan.

  1. Alat bukti sumpah

Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.

DAFTAR PUSTAKA

Aza, Pembuktian dan Alat-alat Bukti, artikel diposkan pada 9 Desember 2010 dari http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html.

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006.

Muljono, Wahju, Teori dan Praktik Peradilan Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa 2003.

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.

Sugeng A.S, Bambang. dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Litigasi Perkara Perdata, Jakarta: Kencana, 2011.

Tw, Abdullah, Alat Bukti Dalam Perakara Perdata, artikel diposkan pada 6 Mei 2010 dari http://advosolo.wordpress.com/2010/05/06/alat-bukti-dalam-perkara-perdata/.


[1] Dr. Wahju Muljono, S.H., Kn., Toeri dan Prakatik Peradilan Perdata Di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Yustisia), h. 105.

[2] Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa), cet. 31, 2003, h.177

[3] Op. cit, h. 107.

[4] Prof. Subekti, S.H., Op. cit. h. 176.

[5] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta) Ed. 7, 2006, h. 134.

[6] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika), cet. 10, 2010, h. 554.

[7] Bambang Sugeng A.S., S.H., M.H., dan Sujayadi, S.H., Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata (Jakarta: Kencana), 2011, h. 66.

[8] M. Yahya Harahap, S.H., Op. cit, h. 566

[9] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. cit. h. 158

[10] Op. cit, h. 607

[11] Op. cit, h. 166

[12] Sudikno Mertokusumo, Op. cit, h. 166

[13] Aza, Pembuktian dan Alat-alat Bukti, artikel ini diposkan 9 Desember 2010 dari  http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html.

[14] Prof. Subekti, S.H., Op. cit, h. 181

[15] Abdullah Tw, Alat Bukti Dalam Perkara Perdata, artikel diposkan pada 6 Mei 2010 dari http://advosolo.wordpress.com/2010/05/06/alat-bukti-dalam-perkara-perdata/

[16] Aza, Op. cit.

[17] Dr. Wahju Muljono, S.H., Kn., Op. cit, h. 117

[18] Prof. Subekti, S.H., Op. cit, h. 183

[19] Ibid, h. 184.

[20] Bambang Sugeng A.S., S.H., M.A., dan Sujayadi, S.H., Op. cit, h. 76.

[21] Ibid.

By rahmatyudistiawan

16 comments on “Pembuktian dan Macam-macam Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata oleh Rahmat Yudistiawan

  1. Dengan Hormat….
    Dalam suatu perkara perdata dengan bukti hak suatu perjanjian PERIKATAN jual beli tanah,antara A dan B.Perikatan ini tentunya menjadi gugatan WANPRESTASI,karena salah satu pihak inkar,tidak dapat menepati janji.
    Wanprestasi yang lahir dari Perikatan A dengan B tersebut digabung dengan pihak pihak lain(di luar perikatan) di dalam satu Perkara Perdata di Pengadilan Negeri….

    Bagaimana dengan bukti WANPRESTASI dan hubungan hukum antara pihak penggugat terhadap pihak pihak tergugat lainya dalam penggabungan gugatan perkara perdata menjadi satu gugatan/satu nomor Registrasi……?

    Bagaimana pula kalau majelis Hakim telah menerima dan memutuskan gugatan di atas yang mengsahkan PERIKATAN yang melahirkan WANPRESTASI tersebut tanpa menghiraukan para pihak yang berperkara mengadung hubungan antara pihak secara hukum telah merugikannya……

    Demikian,Terima Kasih

    • Dalam hal tsb, harus jls terlbh dulu posisi siapa yg menjd tergugat(yg melakukan wanprestasi), bisa satu org atw bnyk org(kelompok), tergantung seperti apa bentuk perikatannya dan pula tuntutannya dlm surat gugatan ketika mencantumkn nama2 pihak yg berperkara.
      Terkait dengan bukti, ada bukti saksi dan ada jg bukti dlm bentuk tertulis dlm hal ini akta perjanjian, maka gunakan bukti tsb untuk digunakan dlm pembuktian perkara.

  2. salam pak..
    sy mau tanya pak,ini papa saya telah meninggal.trus papa sy sebelum menikah ada diberikan rumah oleh orangtuanya dan rumah tsb telah atas nama papa saya.
    mama saya masih hidup dan kami 3 bersaudara.2perempuan dan 1 laki-laki.
    yang mau saya tanyakan:
    1.siapa saja yang berhak atas peninggalan rumah papa?telah saya tanyakan kalo k pengadilan agama hrus beragama islam sdgkn kami tdk beragama islam)
    2.bgmn klo saudara laki2 saya menyewakan rumah tsb hanya sepengetahuan mama.dan hanya dibuatkan kwitansi.kami sbgai anak perempuan tidak mengetahui dan merasa keberatan rumah tsb disewakan?
    3.sesuai dengn pertanyaan no.2,langkah apa yang harus saya ambil karna saudara laki2 saya mengatakan bahwa kami anak perempuan tdk berhak atas rumah tsb?
    4.saya juga telah mengurus surat keterangan waris d kelurahan,tapi dgn situasi saya dr lurah tdk bisa dibuatkn karna saudara laki2 sy tdk bersedia ttd surat tsb.jd apa yang harus sy lakukan utk membuktikan bhw kami anak perempuan jg berhak atas rumah tsb?

    terima kasih

    • Sebelumnya saya mohon maaf baru merespon dan menanggapi pertanyaan saudari, harap dimaklumi. Saya selaku akademisi akan berusaha dan mencoba menjawab satu-persatu pertanyaan saudari;
      1. Bicara soal hukum, dalam aturan hukum perdata di Indonesia khususnya di bidang kewarisan, bila para pihak beragama Islam maka landasan yang dapat digunakan dan biasanya dijadikan rujukan para hakim di Pengadilan Agama dalam memutus perkara adalah UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI (Kompilasi Hukum Islam), namun bila para pihak beragama selain Islam/Non-Islam maka landasan yang dapat digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang biasanya penerapan pembagiannya menggunakan konsep sama rata.
      2. Untuk masalah saudari yang kedua dan ketiga, hendaknya dibicarakan baik-baik terlebih dahulu, apalagi hal tersebut masih dalam lingkup masalah keluarga. Hendaknya didiskusikan dan dimusyawarahkan secara kekeluargaan serta dimufakatkan secara adil agar tidak menimbulkan masalah baru. Ajak pula keluarga dari pihak orang tua agar bisa ditanyakan pendapatnya. Untuk pembagian, seperti yang saya jelaskan di no. 1, namun bila saudari belum mengerti dan tidak bisa cara pembagiannya seperti apa hendaknya mengundang ahli dalam pembagian waris atau konsultan waris.
      3. Surat Keterangan Waris biasanya digunakan untuk membuktikan bahwa benar ahli waris yang disebutkan dalam Surat Keterangan tersebut adalah ahli waris yang sah dari pewaris. Jadi bila masalah saudari sudah diselesaikan dan ditemukan titik temu pembagian yang sesuai menurut kesepakatan keluarga, barulah membuat surat keterangan waris dengan disaksikan oleh 2 orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia. Bila problem saudari belum juga menghasilkan kata sepakat diantara keluarga barulah diajukan ke Pengadilan (Pengadilan Negeri bagi non-Islam dan Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam) supaya dapat diselesaikan didepan hakim secara berkeadilan.
      Mungkin itu saja jawaban dan saran yang dapat saya berikan, harapan saya mudah-mudahan masalah saudari dapat diselesaikan dengan baik-baik secara kekeluargaan, semoga Tuhan melancarkan urusannya, amin…
      terimakasih

  3. Dengan Hormat..
    Mohon keadilan..

    Gugatan perdata no.13/Pdt.G/2010/PN.DUM,tanggal 17/03/2010.
    Majelis Hakim telah menyalagunakan wewenangnya,menerima dan memutuskan perkara ini,karena alat bukti pokok perkara dan hubungan hukum antara pihak,tidak bisa dibuktikan peristiwa peristiwa sampai terjadi gugatan.Fakta yang telaj terjadi di Pengadilan Negeri Dumai,sebagai berikut..:
    1.para penggugat;Yeni sumali,Toton sumali,Djuarwin,Rusli sumali yang dikuasakannya secara bersama kepada advokad,Mangarah Tampubolon danRaja Junaidi.
    Alat bukti para penggugat:
    Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli.ada 4 akta notaris no.10.11.12.13,tertanggal 17/01/2001,semuanya perjanjian yang di buat para penggugat dengan Dohar S.
    2.Gugatan terhadap para tergugat:Marwal Efendi,tergugat I,Dohar s,tergugat II,Solai Guan,tergugat III,Kian Ho,tetgugat IV,Martias,tergugat V dan Abd.Halasan
    S,tergugat VI.

    Gugatan para penggugat Eror in persona,dan tidak bisa di buktikan peristiwa hukumnya terhadap para tergugat,kecuali Dohar s,tergugat II dan Abd.Halasan,tergugat VI,karena hanya hanya dua orang ini pihak yang terlibat dalam PPJB,yang menjadi alat bukti gugatan.

    Saya,Marwal Efendi,tergugat I,menjadi tumpuan perkara,secara yuridis,historis atau hubungan hukum sengketa dengan para penggugat,tidak ada sama sekali,tidak pernah berhungan apa pun,hutang,sewa menyewa,menduduki haknya,dan telah kami sampai penolakan gugatan kepada para penggugat melalui majelis hakim.
    Namun perkara tetap jalan secara sepihak,acara sidang pembuktian,keterangan saksi saksi,penyampai bukti bukti,pembuktian dengan yang asli,kami tidak tahu.

    Bagi pihak penggugat yang berkempuan materi/uang dengan senang merebut hak orang lain,dengan cara tipu muslihat dan persengkokolan dengan majelis hakim,mencampur adukan para pihak,apakah kesemua para tergugat memiliki hubungan hukum atau tidak.

    Majelis Hakim telah memutuskan perkara,mengesahkan PPJB,sebagai alat bukti yang sah dan memenuhi syarat formil.putusan hanya mengenai tergugat I saja,dan dinyatakan majelis hakim telah menduduki haknya para tergugat.
    Tergugat II/VI tidak pernah
    hadir di persidangan.
    Majelis hakim dalam putusan bahwa tergugat II/VI,karena tidak pernah hadir tanpa alasan apapun,maka mejelis mengangap tergugat II/VI,secara diam diam telah mensetujui putusan perkara ini..,dan kemudian menjadi sebagai pihak turut tergugat.

    Bagaimana suatu peristiwa peristiwa gugatan dapat di buktikan apabilah para pihak yang bersangkutan dalam PPJB,tidak hadir di acara sidang. Para penggugat harus membuktikan para pihak tergugat benar telah merugikan para penggugat.

    Atas perbuatan para penggugat,dengan menghalalkan berbagai cara,tipu daya,dan bersengkokol dengan advokad,majelis hakim untuk merampas hak orang lain..dan putusan perkara telah mengeksekusi bangunan 2 ruko milik tergugat I saja.

    Dalam hal kejadian ini saya tergugat I,telah menyampai sumpah dari mulai dilaksanakan Eksekusi 2 ruko saya.
    SAYA BERSUMPAH KALAU ADA SAYA MELANGGAR HAK MILIK DAN ADA HUBUNGAN HUKUM DENGAN PARA PENGGUGAT.
    Kami sekeluarga taruhannya dan relah tuhan memberikan murka.

    Terima kasih

  4. Sebelumnya saya minta maaf atas keterlambatan respon dari tanggapan sdr terhadap terhadap tema ini. Dari cerita yang disampaikan, miris rasanya jika hukum dijadikan alat pemiskinan, yang sekarang terus terjadi terutama daerah-daerah terpencil yang masyarakatnya sulit terpantau. Saya tidak begitu tahu terkait dengan masalah yang sebenarnya terjadi, karena analisa hukum butuh yang namanya data autentik untuk menelusuri permasalahan hukum yang terjadi di pengadilan. Saya menjadi teringat dengan salah satu asas dalam beracara di pengadilan bahwa hakim bersifat pasif. Mengapa saya kaitkan dengan hal tersebut, sebab dengan pembuktianlah yang dapat meyakinkan serta melahirkan dasar hukum yang akan diputuskan oleh hakim. Oleh sebab itu, ketika diberikan kesempatan oleh hakim untuk saling membuktikan di saat replik dan duplik maka itulah waktu yang sangat berharga yang harus digunakan semaksimal mungkin oleh para pihak pada saat sidang pengadilan di tingkat pertama. Sebenarnya masih ada kesempatan untuk sdr mengajukan Peninjauan Kembali atau PK (sebab sudah diputus dan berkekuatan hukum tetap, kecuali ketika putusan dijatuhkan, selama 7 hari diberikan kesempatan bersegera mengajukan banding) bila ada petitum atau dasar hukum yang cacat maupun yang merugikan sdr tanpa bukti yang autentik (jelas), kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, ditemukannya bukti baru yang belum terungkap dan alasan-alasan lain yang dapat menguatkan sdr sebagai korban hukum (istilah saya), mungkin itu saja yang dapat saya tanggapi, mohon maaf jika ada kesalahan dan kekeliruan, semoga selalu dalam lindungan Tuhan, amin, terimakasih…

  5. saya mau tanya bagaimana langkah yg harus saya ambil agar supaya bukti yg saya miliki /pegang tersebut dapat saya pakai sebagai bahan pembuktian.tolong di jelaskan pak terimakasih.

    • 1. Bukti yang autentik yang sesuai dengan kriteria alat-alat bukti,
      2. Macam-macam alat bukti bisa dilihat dalam tulisan saya, intinya tinggal dibuktikan dalam proses pembuktian di pengadilan, jangan merasa khawatir bila memang alat bukti anda adalah yang sah, bukti yang sah tetap dikatakan sah apabila melalui jalur perolehan yang sah, intinya disitu,
      3. Setelah anda melakukan pembuktian, berdoalah, berharap dengan melalui jalur atau proses hukum keadilan dapat diperoleh, sebab selebihnya hakimlah yang memutuskan, terimakasih

  6. Ping-balik: Surat Elektronik (e-mail) Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Perdata – UmmLawBlog

Tinggalkan Balasan ke Om Gasat! Batalkan balasan