Eskatologi Islam, Ibadah Dan Relevansinya Dengan Etos Kerja, Oleh: Rahmat Yudistiawan

  • PENDAHULUAN

Hampir semua agama termasuk Islam meyakini adanya konsep awal mula segala sesuatu, hari akhir, serta hari kebangkitan kembali, yang mana di dalam filsafat hal ini dikenal dengan istilah eskatologi, yaitu ilmu pengetahuan yang membahas tentang akhirat. Menurut Eliade, “… eskatologi termasuk bagian dari agama dan filsafat yang menguraikan secara runtut semua persoalan dan pengetahuan tentang akhir zaman, seperti kematian, alam kubur, kehidupan surga dan neraka, hukuman bagi yang berdosa, pahala bagi yang berbuat baik, hari kebangkitan, pengadilan pada hari itu dan sebagainya.[1] Dalam Islam konsep ini bahkan terungkapkan dalam rukun iman yang yang kelima, yaitu Iman (percaya) kepada hari akhir, artinya konsep ini harus diyakini oleh setiap umat Muslim.

Selain itu, dalam ajaran Islam juga diterangkan mengenai tujuan dari penciptaan manusia, yaitu untuk beribadah kepada Allah. Maka dapat dipahami bahwa ibadah adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap Muslim tanpa mengharapkan imbalan apapun, ibadah merupakan wujud penghambaan manusia kepada Allah sebagai realitas yang sebenarnya. Namun tujuan dari ibadah ini seringkali mengalami pergeseran ketika manusia juga dihadapkan dengan konsep pengadilan di hari kebangkitan. Bahwasanya setiap orang yang melakukan perbuatan baik di dunia akan mendapatkan balasan yang baik, sedangkan orang yang berbuat buruk akan mendapatkan hukuman. Banyak dari pemeluk agama melakukan ibadah dengan tujuan agar terlepas dari hukuman di akhirat nantinya, tujuan beribadah bukan lagi semata-mata sebagai wujud penghambaan diri kepada Sang Khaliq.

Ibadah dengan motif seperti ini juga tidak sepenuhnya salah, karena dari awal memang sudah digambarkan adanya konsep reward dan punishment terkait dengan kehidupan manusia. Kemudian fenomena lain yang berkembang adalah banyaknya umat Muslim yang mengabaikan urusan duniawi, mereka bepandangan bahwa masa depan mereka adalah akhirat, mereka hanya beribadah untuk mencapai kesuksesan akhirat. Pemahaman seperti ini tentunya terjadi karena ketakutan dalam memandang eskatologi. Dan Jika hanya mengedepankan aspek spiritual tetapi melupakan lainnya, maka akan berakibat terjadinya kesenjangan antara ajaran Islam yang sedemikian tinggi dengan kenyataan kehidupan sehari-hari, yakni rendahnya kualitas kerja di lingkungan Muslimin.[2]

Selain itu, buruknya etos kerja dalam mencapai kesuksesan dunia di kalangan Muslim ini juga dilatarbelakangi karena kurangnya pemahaman umat Muslim itu sendiri tentang makna ibadah. Ibadah sebagai upaya untuk meraih kesuksesan akhirat seringkali dipahami dengan makna yang sempit, hanya sebatas praktik-praktik ritual seperti shalat, puasa, zakat, dan haji saja. Kedangkalan pemahaman ini membuat orang-orang Muslim hanya berfokus pada praktik ibadah formal saja. Padahal sebenarnya ibadah dapat diartikan dalam makna yang sangat luas. Dengan keluasan pemahaman dalam memaknai ibadah tentunya akan meningkatkan aktivitas setiap individu dalam upayanya mencapai kesuksesan akhirat.

  • RUMUSAN MASALAH
  1. Bagaimana pandangan Islam tentang eskatologi dan kehidupan di dunia?
  2. Seperti apa makna dan konsep ibadah dalam Islam?
  • PEMBAHASAN

Emile Durkheim mendefinisi agama sebagai suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci dan menyatukan semua penganutnya dalam suatu komunitas moral yang dinamakan umat.[3] Islam sebagai sebuah agama tentunya juga memiliki kepercayaan dan praktik-praktik tersendiri yang menghubungkan antara makhluk dengan khaliq-Nya.

Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu seperti berdoa, memuja dan lainnya, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah, dan lainnya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya. Karenanya, keinginan, petunjuk, dan ketentuan kekuatan gaib harus dipatuhi kalau manusia dan masyarakat ingin kehidupan ini berjalan dengan baik dan selamat.[4]

Dalam Islam kekuatan ghaib yang paling besar tersebut adalah Allah, Tuhan sekalian alam. Sedangkan perilaku beragama dalam Islam memang sudah diatur dalam kitab suci Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. dan hingga sekarang Al-Quran menjadi pedoman hidup bagi setiap Muslim. Disinilah perbedaan mendasar antara agama dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan terbatas hanya memahami hal-hal yang bersifat rasional-empiris yang dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia, dan dapat dicerap oleh indera. Sedangkan agama, sangat erat kaitannya dengan hal-hal metafisika atau supernatural, yaitu tatanan hal-ihwal yang berada di luar kemampuan pemahaman kita; yang supernatural adalah dunia misteri, yang tidak bisa diketahui atau yang tidak bisa ditangkap akal dan dicerap indera. Maka agama menjadi semacam spekulasi terhadap segala sesuatu yang ada di luar sains atau akal sehat pada umumnya.[5] Contoh salah satu konsep yang diyakini oleh Islam adalah eskatologi, yaitu adanya hari kiamat, hari kebangkitan kembali, surga dan neraka sebagai ganjaran dari perbuatan manusia di dunia.

Artinya: “Hari Kiamat. Apakah Hari Kiamat itu? Tahukah kamu, apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia adalah seperti anai anai yang bertebaran.” (QS. Al-Qari’ah ayat 1-4).

Ayat di atas menjelaskan tentang Hari Akhir, atau dalam Islam dikenal dengan sebutan hari kiamat.  Hari Akhir merupakan terjemahan dari bahasa Arab yaituYaumul akhir.  Kata yaum berarti hari dan kata akhir berarti yang terakhir atau yang penghabisan. Dalam Al Qur’an, kata kata Akhirah disebut 71 kali yang tersebar dalam berbagai surat, dan sering beriringan dengan kata ad-Dunya (kehidupan saat ini) sebagai lawan dari al-Akhirat. Dua kata tersebut mempunyai substansi yang berbeda. Kehidupan dunia adalah proses yang bersifat sementara, sedangkan akhirat adalah kehidupan yang abadi dan sebagai imbalan kehidupan dunia, maka segala amal perbuatan manusia di dunia akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Hal lain yang diyakini Islam adalah adanya hari kebangkitan kembali sebagai hari pengadilan atas apa yang telah diperbuat manusia. Orang yang banyak melakukan kebaikan ditempatkan di Surga, sedangkan mereka yang banyak berbuat kejahatan akan di tempatkan di neraka.

Artinya: “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minun: 115).

Artinya: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. Al-Qiyamah: 36).

Artinya “Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang shaleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezqi di dalamnya tanpa hisab. (QS. Al-Mukmin : 40)

Ketiga ayat di atas menjelaskan tentang kembalinya manusia kepada Allah sebegai Sang Pencipta, Pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatan yang telah dilakukannya, kemudian setiap perbuatan tersebut akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Begitulah konsep-konsep eskatologi yang diajarkan oleh Islam, dan konsep-konsep tersebut merupakan sebuah ajaran yang memang harus diyakini oleh setiap Muslim. Akan tetapi dengan adanya konsep eskatalogi dalam Islam bukan berarti Islam hanya menyeru pemeluknya untuk mencapai akhirat saja, Islam tidak pernah menafikan keberadaan dunia sebagai sebuah perantara untuk mencapai kehidupan akhirat. Bahkan dunia bisa dijadikan alat untuk mencapai kesuksesan di akhirat. Islam mengantarakan pemeluknya untuk mencapai dunia dan akhirat secara seimbang.

Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam menekankan perlunya manusia beramal dan bekerja. Al-Quran menganjurkan manusia untuk beramal, berbuat secara kongkrit untuk kemanfaatan dan kesejahteraan hidup bersama. Dapat diartikan bahwa Al-Quran juga mengharuskan umat Islam untuk berusaha meraih kesejahteraan hidup di dunia. Secara tegas Al-Quran memandang kekayaan (dalam segala bentuknya, baik yang material maupun spiritual) pada dasarnya merupakan keutamaan dan mempunyai makna lebih dibandingkan dengan kemiskinan.[6]

Sebagai agama yang bertujuan mengantarkan hidup manusia kepada kesejahteraan dunia dan akhirat, lahir dan bathin, Islam telah membentangkan dan merentangkan pola hidup yang ideal dan praktis, … setiap muslim menghadapi dua medan (aspek) untuk memprodusir kebaikan atau amal shaleh sebanyak-banyaknya, yang meliputi aspek ibadah dan mua’malah (budaya, sosial, kemasyarakatan, ekonomi, dan lain-lain) yang lazim juga diformulasikan sebagai hablun minallah dan hablun minannaas.[7] Ibadah dalam bentuk formal merupakan hubungan antara manusia dan Tuhan, sedangkan mua’malah juga bisa diartikan sebagai ibadah, penghambaan diri kepad Allah, tetapi dengan bentuk hubungan dengan manusia, artinya kita mengabdikan hidup kita untuk menjalankan perintah Allah yang bersangkutan dengan sesama makhluk.

Artinya: “Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10).

Dalam ayat lainnya Al-Quran dengan tegas menyeru manusia untuk memperoleh kesuksesan di dunia dan akhirat secara bersamaan.

Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash ayat 77)

Berdasarkan paparan di atas dapat dipahami bahwa, walaupun Islam memiliki konsep eskatologi yakni konsep hari akhir, hari kebangkitan, surga dan neraka sebagai balasan dari perbuatan manusia, namun bukan berarti Islam hanya menyuruh kaum muslim untuk berfokus kepada ibadah formal saja sebagai jalan mencapai kesuksesan di akhirat. Islam juga memperhatikan aspek keduniawian, sesuai dengan perannya sebagai khalifah di muka bumi, manusia berhak mengolah apa saja yang ada di bumi, mencari rizki, mencapai keinginan dan kesuksesan di dunia.

Adanya hari kiamat sebagai hari akhir bukan berarti meruntuhkan harapan manusia untuk meraih cita-citanya. Konsep tersebut adalah untuk menyeimbangkan antara aspek jasmani dan rohani manusia, tanpa adanya konsep eskatologi tentunya manusia akan berbuat semena-mena di muka bumi. Begitupun sebaliknya, jika Islam menafikan kehidupan duniawi maka mengabaikan dunia. Maka Islam berusaha menyeimbangkan antara keduanya. Adanya pemahaman yang baik tentang kedua aspek ini tentunya akan menjadikan orang-orang muslim sebagai seorang yang religius dan memiliki etos kerja yang tinggi.

  • MAKNA DAN KONSEP IBADAH DALAM ISLAM

Fenomena Religius dapat dibagi menjadi dua kategori: Kepercayaan dan ritus. Yang pertama merupakan pendapat-pendapat (states of opinion) dan terdiri dari representasi-representasi; yang kedua adalah bentuk-bentuk tindakan (action) yang khusus. Di antara dua kategori fenomena ini terdapat jurang yang memisahkan cara berpikir (thinking) dari cara berperilaku (doing).[8] Artinya kepercayaan berupa hal-hal yang diyakini oleh setiap penganut agamanya, sedangkan ritual adalah aktivitas khusus. Adapun dalam Islam ritual-ritual tersebut biasanya disebut dengan ibadah, ibadah seringkali dipahami sebagai ritual-ritual formal keagamaan, namun sebenarnya pemaknaan atas Ibadah bisa diperluas, bukan hanya mencakup ritual yang sebagai perantara makhluk dan khaliq saja, akan tetapi ibadah bisa juga dimaknai menjadi semua aktivitas baik yang dilakukan oleh manusia, dengan niat untuk mencari ridha Allah.

  1. Definisi Ibadah

Ketika membandingkan pemahaman generasi-generasi Islam pertama mengenai pengertian ibadah yang lengkap, luas dan dalam, dengan pemahaman generasi-generasi sekarang yang dangkal dan sempit, seseorang tak merasa aneh. Umat ini telah terhempas dari puncak ketinggiannya ke dalam jurang yang hina sebagaimana yang ada sekarang ini.[9] Dari paragraf di atas data dipahami bahwa pengertian ibadah pada masa sekarang ini sudah sangat jauh dari pemahaman ibadah oleh generasi awal Islam. Pemahaman generasi awal Islam ialah bahwa ibadah kepada Allah adalah tujuan hidup seluruh umat manusia. Firman Allah telah menjelaskan:

Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56).

Ibadah dalam kamus disebut: Al-Ubdiyah, dan Al-‘Ibadah, semua itu mempunyai arti Ath-Tha’ah, kepatuhan atau keta’atan. Dari segi bahasa yang tepat adalah Al-‘Ubudiyah berasal dari Al-Khudlu’ (tunduk atau rendah diri) serta Adz-Dzil (memperhinakan diri). Kemudian At-Ta’bid (penyembahan) adalah bermakna At-Tadzlil (perendahan diri atau penghinaan diri).[10] Diantara beberapa definisi tersebut antara lain:

  1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, perintah dan larangan tersebut diberitahukan kepada manusia melalu wahyu yang disampaikan kepada para rasul.
  2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah, yaitu ketundukan disertai dengan rasa kecintaan.
  3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan atau perbuatan.

Menurut Imam Syatibi tujuan yang mendasar (pokok) di dalam ibadah adalah tawajjuh (menghadap) kepada Yang Mahaesa, Tuhan yang disembah, dan mengesakan-Nya dengan niat ibadah dalam setiap keadaan.

  1. Konsep Ibadah Islam

Ibadah secara luas bisa diartikan sebagai amal shaleh (perbuatan baik). Berdasarkan kajian yang ada, terdapat dua bentuk amal yang selalu menjadi perilaku orang-orang mulia, yaitu :

  1. Amal yang berhubungan dengan ibadah formal (ibadah mahdah), yakni perbuatan yang seluruh prasyarat, syarat, dan aturannya secara detail dicontohkan rasulullah, yang tidak boleh ditambah atau dikurangi sedikitpun (demikian pendapat semua ulama fiqh), yang apabila terjadi maka disebut sebagai bid’ah yang tertolak oleh Allah swt. Bid’ah yang menyangkut amalan formal dikategorikan sebagai rekayasa amal yang menyesatkan dan pembuat serta pengamalnya mendapatkan dosa. Contoh amal perbuatan dalam kelompok ini sangat mudah diidentifikasi karena berada dalam bentuk amal peribadatan mahdah, antara lain: shalat, puasa, dan haji. Dengan demikian, setiap perbuatan shalat, puasa, dan haji yang dilakukan seseorang yang telah memenuhi prasyarat, syarat, dan rukunnya dapat disebut perbuatan terpuji (amal shaleh).
  2. Amal yang berhubungan dengan peribadatan tidak formal (ghairi mahdah), yakni perbuatan yang tidak secara detail dicontohkan oleh Nabi Muhammab saw, namun dalil-dalil utamanya tercantum dalam Al-Quran, sehingga dalam pelaksanaanya menjadi fleksibel. Dari kajian Al-Quran, dalil-dalil yang berhubungan dengan permasalahan kelompok kedua ini lebih banyak dibandingkan kelompok pertama, sehingga menjadi peluang bagi umat Islam untuk mengembangkan dirinya menjadi manusia yang multi dimensi dalam melakukan amal perbuatan. Bentuk amal kategori kedua ini seharusnya menjadi pencerminan yang nyata dari bentuk amal kategori pertama, karena bentuknya menyangkut nilai sesungguhnya misi Islam diturunkan, yakni memuliakan di hadapan Tuhan dan di antara sesama.[11]

Konsep ibadah di atas dipaparkan untuk membuka pemahaman kaum Muslim mengenai pemaknaan atas ibadah. Ibadah yang seringkali hanya dimaknai sebagai ritual formal agama ternyata memiliki makna yang luas yang juga mencakup tentang hubungan manusia dengan makhluk lainnya di dunia. Namun tentunya bukan setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia bisa dimaknai sebagai ibadah, akan tetapi juga tidak menutup kemungkinan semua aktivitas manusia tersebut dimaknai sebagai ibadah, selama ia memiliki unsur-unsur dari ibadah. Maka selayaknya dipahami hakikat dan unsur dari ibadah, dengan dalamnya pemahaman tersebut tentu akan menunjang serta memperbanyak aktivitas ibadah yang dilakukan.

Dalam buku-buku fiqh Islam disebutkan bahwa suatu perbuatan dapat disebut ibadah atau peribadatan apabila di dalamnya terdapat beberapa hal, yakni:

  1. Niat, yakni keinginan hati untuk melakukan perbuatan tertentu karena adanya stimulus ilahiyah dan kemanusiaan semata. Karena sifatnya sangat tersembunyi, seseorang tidak mungkin mengetahui niat orang lain.
  2. Ilmu, yakni pengetahuan yang menjadi sandaran atau rujukan yang bersangkutan untuk dapat menyampaikan niat tersebut agar terwujud menjadi kenyataan.
  3. Perbuatan, yakni suatu aksi yang dituangkan dalam bentuk perilaku fisik, yang mudah dideteksi secara kasat mata, dan dilakukan secara sungguh-sungguh. Dalam hal perilaku atau amal perbuatan, kita harus berhati-hati karena disinilah terdapat batas yang jarang disadari oleh manusia pada umumnya, apakah yang dilakukan tersebut bernuansa amal shaleh atau bukan.
  4. Ikhlash, yakni bisikan hati yang menyertai niat, ilmu dan perbuatan dengan muatan berupa mencari ridha Allah semata.
  5. Tawakkal, yakni bentuk penyerahan (kepasrahan) keempat poin di atas terhadap penilaian Allah swt tanpa memperdulikan untung rugi secara materil semata. Orang yang tawakkal adalah orang yang berorientasi pada karya bukan hasil keuntungan, ia akan selalu mengoptimalkan potensi diri untuk berbuat amal shaleh sebanyak-banyaknya dan tidak pernah mengenal lelah bahkan kecewa apabila usahanya tidak mencapai harapan.[12]

Dengan keluasan pemahaman tentang ibadah, maka setiap orang tidak terbatas untuk melakukan ibadah dengan praktik-praktik formal saja, namun setiap orang bisa saja menjadikan semua aktivitasnya bernilai ibadah, dengan cara menunaikan unsur-unsur ibadah yang telah dipaparkan di atas tadu. Dengan adanya pemahaman yang baik seperti ini tentu saja dapat meningkatkan etos kerja kaum Muslimin, karena ibadah yang selama ini hanya dipahami dalam arti sempit dan orang-orang hanya berusaha mencapai akhirat dengan ibadah-ibadah fomal saja, kemudian dimaknai secara luas maka artinya ada banyak jalan untuk mencapai kesuksesan akhirat. Bahkan untuk mencapai kesuksesan tidak harus menafikan kesuksesan duniawi, keduanya bisa diraih secara bersamaan.

  • PENUTUP

Islam sebagai sebuah agama memiliki konsep-konsep (doktrin) yang harus diyakini oleh pemeluknya. Salah satu konsep yang dimiliki Islam adalah konsep hari akhir, kebangkitan kembali, surga dan neraka sebagai ganjaran dari perbuatan manusia di dunia, konsep ini dalam istilah filsafat dikenal dengan sitilah eskatologi. Adanya konsep eskatologi dalam Islam seringkali disalah artikan oleh kaum Muslim, kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa dunia tidaklah penting, mereka kemudian hanya melakukan ritual-ritual agama demi mendapatkan balasan baik di akhirat kelak. Fenomena ini juga menggeser pemahaman umat Muslim terkait makna ibadah, ibadah yang semula diartikan dan dilakukan sebagai kewajiban serta wujud penghambaan diri kepada Allah, berubah makna menjadi ritual-ritual khusus yang dapat membebaskan manusia dari hukuman akhirat.

Sebenarnya eskatologi dalam Islam bukan berorientasi pada kehidupan akhirat saja, adanya konsep ini adalah sebagai penyeimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, konsep ini sebenarnya berfungsi sebagai pagar agar manusia tidak melampaui batas dalam aktivitas keduniawian. Islam sebenarnya juga menyeru pemeluknya untuk mendapatkan kesuksesan di dunia. Hal itu tertuang jelas dalam banyak ayat di dalam Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk mencari rezeki dan memanfaatkan alam yang diciptakan Tuhan.

Permasalahan lain adalah sempitnya pemahaman kaum muslimin terhadap pemaknaan ibadah. Ibadah seringkali dimaknai hanya sebatas ritual formal saja sehingga manusia hanya berlomba dalam ibadah formal dan melupakan dunia. Padahal ibadah bisa diartikan secara luas, juga hal-hal yang menyangkut urusan dunia. Setiap aktivitas manusia bisa dijadikan ibadah asalkan memiliki unsur-unsur ibadah yaitu, niat, ilmu, perbuatan, ikhlash, dan tawakkal. Dengan luasnya pemaknaan akan ibadah ini tentu akan meningkatkan etos kerja umat Muslim. Karena semua perbuatan bisa dijadikan jalan untuk mencapai akhirat.

Daftar Pustaka

Mircae Eliade (ed). “Eschatology”, The Encyclopedia of Religion, New York : Macmillan Publishing Company, 1987.

Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Membangun Etos Kerja & Logika Berpikir Islami, Malang: UIN-Malang Press, 2009.

Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Emile Durkheim, Sejarah Agama, The Elementery Form of the Religious Life, Yogyakarta: IRCiSod, 2003.

Musa Asy’arie, Islam, Etos Kerja & Pemberdayaan Ekonomi Umat, Yogyakarta: Lesfi, 1997.

Hamzah Ya’qub, Etos Kerja Islami, Petunjuk Pekerjaan yang Halal dan Haram dalam Syari’at Islam, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1992.

Muhammad Quthub, Koreksi Atas Pemahaman Ibadah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1992.

Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah dalam Islam, Tidak disebutkan: Central Media, 1991.

[1] Mircae Eliade (ed). “Eschatology”, The Encyclopedia of Religion, (New York : Macmillan Publishing Company, 1987), hlm. 152-153.

[2] Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Membangun Etos Kerja & Logika Berpikir Islami, (Malang: UIN-Malang Press, 2009), hlm. vii

[3] Definisi Atau Pengertian Agama Menurut KBBI dan Para Ahli,  http://kamuiyakamu.com/knowledge/definisi-atau-pengertian-agama-menurut-kbbi-dan-para-ahli/, diakses pada tanggal 14 Maret 2016, pukul 14.47

[4] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 1

[5] Emile Durkheim, Sejarah Agama, The Elementery Form of the Religious Life, (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), hlm. 49

[6] Musa Asy’arie, Islam, Etos Kerja & Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Yogyakarta: Lesfi, 1997), hlm. 22

[7] Hamzah Ya’qub, Etos Kerja Islami, Petunjuk Pekerjaan yang Halal dan Haram dalam Syari’at Islam, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm. 6

[8] Emile Durkheim, Sejarah Agama, The Elementery Form of the Religious Life…, hlm. 66

[9] Muhammad Quthub, Koreksi Atas Pemahaman Ibadah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1992), hlm. 11

[10] Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah dalam Islam, (Tidak disebutkan: Central Media, 1991), hlm. 29

[11] Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Membangun Etos Kerja & Logika Berpikir Islami…, hlm. 10-11

[12] Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Membangun Etos Kerja & Logika Berpikir Islami…, hlm. 28-31

By rahmatyudistiawan